Laporan Wartawan TribunPalu.com, Zulfadli
TRIBUNPALU.COM, PALU – Festival Film Tengah (FFT) resmi dibuka dengan menghadirkan puluhan karya sineas dari berbagai daerah di Indonesia dan mancanegara.
FFT yang diselenggarakan mulai 6 hingga 10 Agustus 2025, berlangsung di Area Museum Sulawesi Tengah, Jl Kemiri, Kelurahan Siranindi, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Festival yang pertama kali digelar ini merupakan hasil kolaborasi antara Kementerian Kebudayaan, Dana Indonesiana, dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Beragam karya film diputar dalam agenda ini, mencakup film-film dari 7 kabupaten/kota di Sulawesi Tengah, 35 kabupaten/kota di Indonesia, serta 7 negara berbeda dengan genre yang beragam.
Direktur Produksi FFT, Ifdhal Permana, mengatakan bahwa Festival Film Tengah merupakan bentuk respons terhadap perkembangan ekosistem perfilman di Sulawesi Tengah.
Meski secara jumlah produksi belum banyak, namun potensi yang dimiliki dinilai semakin berkembang.
“Selama ini, Sulawesi Tengah belum punya festival film dengan format seperti ini. Kami ingin menciptakan ruang belajar bersama, agar teman-teman sineas lokal bisa merasakan atmosfer festival seperti di daerah lain,” jelas Ifdhal saat ditemui seusai pembukaan, Rabu (6/8/2025).
Ia menekankan bahwa festival ini bukan sekadar ajang apresiasi karya, tapi juga ruang baca dan ruang belajar.
FFT mengangkat konsep ruang liminal, yakni ruang ambang identitas, untuk menunjukkan bahwa keterbatasan justru bisa menjadi kekuatan dalam membentuk karakter bercerita sineas lokal.
“Film-film dari teman-teman Sulawesi Tengah bukan film komersial, tapi film yang lahir dari kegelisahan. Dan Festival Film Tengah adalah bentuk tanggapan atas kegelisahan itu,” ujarnya.
Baca juga: Kembangkan Kelapa, Pemkab Banggai Susun Peta Jalan Bersama Universitas Brawijaya
Sebanyak 197 karya dikurasi dari hasil pengiriman sineas dari berbagai wilayah.
Namun, keterlibatan sineas lokal tetap mendominasi, termasuk dari berbagai komunitas lintas disiplin.
FFT juga menghadirkan Awarding Night sebagai bentuk apresiasi terhadap karya-karya terbaik.
Meski bukan dalam format lomba, program ini dirancang untuk menumbuhkan budaya apresiasi dan diskusi karya secara terbuka.
Ifdhal berharap FFT dapat digelar secara berkelanjutan dan menjadi ruang pertemuan penting antarpelaku film, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional.
“Ketika festival ini berakhir, itu bukan akhir. Tapi menjadi titik evaluasi: apa yang harus kita perbaiki, dan apa yang perlu dikembangkan di tahun berikutnya,” tutupnya.(*)