OPINI

OPINI: Keadilan dan Kepastian Hukum dalam PMK Pengawasan Kepatuhan Wajib Pajak

Kondisi ini diperparah oleh fragmentasi regulasi dengan setidaknya 16 SE berbeda yang mengatur aspek pengawasan, menciptakan kompleksitas pemahaman.

Editor: Regina Goldie
HANDOVER
Dr.Azwar Amiruddin, S.E.,S.H., M.H., M.Ak., M.A(tax)., CLI., CPA.,Ak., APCIT., APCTP ( Akademisi dan Praktisi Perpajakan ) 

Oleh: Dr.Azwar Amiruddin, S.E.,S.H., M.H., M.Ak., M.A(tax)., CLI., CPA.,Ak., APCIT., APCTP ( Akademisi dan Praktisi Perpajakan )

TRIBUNPALU.COM - Sistem self-assessment perpajakan Indonesia yang mengandalkan  voluntary compliance menghadapi tantangan serius ketika data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menunjukkan stagnasi kepatuhan.  

Berdasarkan data terbaru dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP), rasio kepatuhan pengisian SPT Tahunan menunjukkan perkembangan yang berfluktuasi dalam dua tahun terakhir, di mana pada tahun 2023 mencapai 88 persen dengan 17,1 juta SPT berhasil diterima dari total 19,4 juta Wajib Pajak yang wajib melaporkan, menandakan peningkatan dibandingkan tahun 2022 (86,8 % ) dan 2021 (84,07 % ).

Namun, hingga akhir tahun pajak 2024, rasio kepatuhan formal mengalami penurunan menjadi 85,75 % meskipun secara absolut jumlah SPT yang dilaporkan meningkat menjadi 16,52 juta dari target 16,04 juta, di mana pada periode pelaporan utama hingga April 2024 rasio sementara tercatat sebesar 73,61?ngan pertumbuhan 7,15 % year-on-year. 

Baca juga: Semarak HUT RI, Satgas Madago Raya Gelar Lomba Bareng Komunitas Offroader dan Vespa di Poso

Persoalan mendasar terletak pada ketergantungan terhadap Surat Edaran DJP (SE) sebagai instrumen pengawasan kepatuhan, yang meskipun praktis secara operasional, mengandung kelemahan struktural karena sifatnya yang tidak mengikat secara hukum dan rentan menimbulkan multitafsir.

Kondisi ini diperparah oleh fragmentasi regulasi dengan setidaknya 16 SE berbeda yang mengatur aspek pengawasan, menciptakan kompleksitas pemahaman bagi Wajib Pajak, terutama dalam menghadapi asimetri informasi terkait penggunaan big data oleh fiskus.

Studi empiris di berbagai Kantor Pelayanan Pajak (KPP) mengungkap bahwa 68 % Wajib Pajak tidak memahami dasar penetapan potensi pajak mereka, suatu kondisi yang bertentangan dengan prinsip Slippery Slope Framework yang menekankan keseimbangan antara kepercayaan (trust) dan penegakan hukum (power).

Teori ini, yang dikembangkan oleh Kirchler (2008), menjelaskan bahwa kepatuhan pajak optimal hanya dapat tercapai ketika terdapat kombinasi antara kepercayaan Wajib Pajak terhadap sistem dan kapasitas otoritas dalam melakukan penegakan hukum.

Dalam konteks Indonesia, ketidakseimbangan ini terlihat jelas ketika insentif seperti yang diatur dalam PMK No. 10/2025 tentang pembebasan PPh 21 tidak diimbangi dengan transparansi mekanisme pengawasan.

Baca juga: TNI Polri dan Masyarakat Morut Gelar Gladi Bersih Upacara HUT RI di Pelataran Kantor Bupati

Reformasi kebijakan 2025 melalui Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) menunjukkan langkah progresif dengan fokus pada lima pilar utama: reorganisasi kelembagaan, pengembangan SDM, pemanfaatan teknologi, penyederhanaan proses bisnis, dan pembaruan regulasi.

Namun, implementasinya masih menghadapi kendala signifikan, terutama dalam hal adopsi teknologi oleh Wajib Pajak UMKM dan kesiapan infrastruktur di daerah.

Data terbaru menunjukkan bahwa hanya 31 % pelaku UMKM yang memahami insentif PP 23/2018, sementara implementasi kenaikan tarif PPh Orang Pribadi menjadi 35?n PPN menjadi 12?rpotensi menurunkan tax morale jika tidak disertai peningkatan kualitas pelayanan.

Digitalisasi perpajakan melalui  e-Filing dan e-Bupot yang sempat berhasil meningkatkan rasio kepatuhan sebesar 4,57 % pada periode 2019-2020 kini menghadapi tantangan baru dengan kompleksitas sistem yang terus bertambah. Penyatuan berbagai platform pelaporan dalam unified e-Bupot justru dikeluhkan menambah beban kepatuhan, terutama bagi Wajib Pajak yang belum melek teknologi.

Di sisi lain, pengembangan sistem risk-based audit berbasis artificial intelligence untuk 5.000 fiskus pada 2025 berpotensi menciptakan kesenjangan baru dalam kapasitas pengawasan antara Wajib Pajak besar dan UMKM.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved