OPINI

OPINI: Paradoks BUMN: Aset Strategis yang Terkikis Politisasi

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan pilar strategis ekonomi Indonesia yang berperan sebagai instrumen pembangunan

Editor: Lisna Ali
istimewa
Umar, S.E., M.M, (Dosen dan Peneliti Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Palu) 

Oleh: Umar, S.E., M.M.
Dosen dan Peneliti Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Palu

TRIBUNPALU.COM - Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan pilar strategis ekonomi Indonesia yang berperan sebagai instrumen pembangunan, penyedia layanan publik, dan stabilisator ekonomi.

Namun, di balik potensi besarnya, BUMN menghadapi paradoks fundamental yang menggerogoti kinerjanya dari dalam.

Tesis utama dari analisis ini adalah BUMN, yang seharusnya dikelola untuk kemakmuran rakyat, kini telah dikooptasi oleh kepentingan politik partisan.

Fenomena ini terwujud melalui praktik sistematis penunjukan individu dengan afiliasi politik yang kuat, seperti politisi dan tim sukses pemilu, ke dalam jajaran dewan komisaris.

Praktik ini telah mengubah fungsi pengawasan menjadi ajang transaksi kekuasaan, di mana loyalitas politik menggantikan meritokrasi dan profesionalisme.

Baca juga: Siswi SMAN Model Madani dan SMA Kristen Gamaliel Palu Raih Duta Muda BPJS Kesehatan Palu 2025

Bukti empiris menunjukkan bahwa politisasi di dewan komisaris BUMN bukanlah anomali, melainkan sebuah pola yang meluas.

Analisis kuantitatif dari Transparency International Indonesia (TII) mengungkap gambaran yang mengkhawatirkan: dari total posisi komisaris yang diteliti, hanya 23.7 persen yang berlatar belakang profesional murni.

Sebaliknya, dewan komisaris justru didominasi oleh politisi (29.4 % ) dan birokrat (31 % ), yang pengangkatannya sering kali juga bersifat politis.

Kondisi ini membuktikan bahwa BUMN telah menjadi arena pembagian kekuasaan atau spoils system pasca-pemilu, di mana jabatan strategis digunakan sebagai "balas jasa" politik, bukan berdasarkan kompetensi manajerial.

Masalah ini diperparah oleh masifnya praktik rangkap jabatan yang secara efektif melembagakan konflik kepentingan.

Riset Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan bahwa lebih dari separuh (53.9 % ) komisaris BUMN terindikasi merangkap jabatan.

Praktik ini paling banyak dilakukan oleh pejabat aktif dari kementerian yang seharusnya berfungsi sebagai regulator, seperti Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan.

Situasi ini menciptakan anomali tata kelola yang fatal, di mana regulator sekaligus menjadi pihak yang diawasi.

Hal ini memastikan pengawasan menjadi lemah dan kebijakan rentan menjadi bias untuk melayani kepentingan pihak tertentu, bukan kepentingan perusahaan.

Halaman 1 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved