Reaksi Pemkot Palu terhadap Maraknya KDRT dan Pelecehan Seksual di Pengungsian
Wakil Wali Kota Palu, Sigit Purnomo mengungkapkan, pihaknya sudah membahas hal tersebut dengan Satgas penanggulangan pascabencana terpadu.
Penulis: Haqir Muhakir |
Oleh karena itu kata Dedi, pihaknya mendorong pemerintah pusat, yakni Kementerian Hukum dan HAM RI, untuk mencabut predikat Kota Ramah HAM untuk Kota Palu.


Banyaknya pelecehan dan peristiwa percobaan pemerkosaan yang terjadi di pengungsian semakinmemperkuat keyakinan Komnas HAM Sulteng dalam mendorong Menteri Hukum dan HAM RI untuk mencabut predikat Kota Ramah HAM.
"Bagaimana Kota Ramah HAM, sementara terjadi di sana-sini ada pelecehan seksual, ada percobaan pemerkosaan?" tegasnya.
Diketahui, Kota Palu mendapatkan penghargaan sebagai kota peduli HAM pada 2014 dari Kementerian Hukum dan HAM RI, yang bekerjasama dengan Komisi Nasional HAM RI.
Keberhasilan kota Palu sebagai salah satu kota penerima penghargaan kota peduli HAM tahun 2014 tersebut berdasarkan surat Direktur Jenderal HAM Kementrian Hukum dan HAM RI nomor: HAM-UM.05.01-19 perihal peringatan Hari HAM se-Dunia tahun 2015 dan peganugerahan penghargaan Kabupaten/Kota peduli HAM pada 2014.
• Tinggal di Kontrakan Sebelum Bencana, Sebagian Pengungsi Korban Bencana Palu Tak Dapat Bantuan
DP3A Kota Palu Terima 13 Laporan Kasus KDRT di Kamp Pengungsian
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih sering terjadi di kamp pengungsian Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Palu mencatat sudah ada 13 kasus yang dilaporkan.
Secara garis besar ada tiga penyebab kasus KDRT yang dilaporkan tersebut, mulai dari persoalan ekonomi, cemburu terhadap pasangan, hingga perselingkuhan.
"Memang ini (KDRT) sangat rentan, apalagi kondisi saat ini masih sulitnya lapangan pekerjaan," terang Kepala DP3A Kota Palu, Irmayanti Pettalolo, Selasa (2/4/2019).

Irmayanti mengatakan, dalam menangani laporan tersebut, pihaknya melakukan beberapa proses, mulai dari mediasi hingga ke jalur hukum.
Dalam proses mediasi, umunya pihak DP3A melibatkan lembaga adat dan tokoh masyarakat untuk menyelesaikan persoalan.
"Tapi yang paling sering itu kami langsung membawa kasus tersebut ke pihak kepolisian karena sudah masuk ke tindakan kriminal," tegasnya.
Untuk meminimalisir terjadinya kasus KDRT di sejumlah kamp pengungsian, Irmayanti mengaku pihaknya tekah mendirikan tenda ramah perempuan.
Tenda ramah perempuan ini dibangun di antaranya di Kelurahan Balaroa, Kelurahan Petobo, Kelurahan Duyu, dan Kelurahan Pantoloan.
"Dengan didirikan tenda ramah perempuan ini, sehingga perempuan, anak-anak, dan kaum rentan bisa cepat melaporkan sika terjadi kekerasan," ujarnya.
Irmayanti mengungkapkan, kasus KDRT perlu mendapat perhatian lebih.
Mengingat jenis kekerasan ini yang paling sering dialami oleh perempuan di Indonesia, khususnya Kota Palu.
(TribunPalu.com/Muhakir Tamrin)