Penelitian Obat Covid-19 dari UNAIR Dinilai Tak Lazim, Pakar: Data Ini Kesannya Too Good To Be True

Penelitian dan pengembangan obat Covid-19 yang dilakukan oleh Universitas Airlangga (UNAIR) dinilai tidak lazim oleh sejumlah ilmuwan.

givingcompass.org
ILUSTRASI obat-obatan. 

TRIBUNPALU.COM - Penelitian dan pengembangan obat Covid-19 yang dilakukan oleh Universitas Airlangga (UNAIR) dinilai tidak lazim oleh sejumlah ilmuwan.

Penyebabnya pun dipaparkan ahli biologi molekuler Indonesia Ahmad Utomo.

Seperti dijelaskan dalam artikel sebelumnya, ketidaklaziman itu terkait obat dan data hasil pengujian yang dinilai tidak lengkap atau mungkin tidak dipaparkan sepenuhnya.

Selain itu, Ahmad juga menilai pemaparan di evaluasi hasil hanya dijelaskan dengan kalimat yang sangat sederhana.

"Relatif aman diberikan dengan mengevaluasi hasil pemeriksaan klinis, fungsi liver, fungsi ginjal, dan ECG," tulis paparan hasil uji obat Covid-19 Unair yang dimuat di laman tniad.mil.id.

Ahmad mengatakan, evaluasi suatu penelitian semestinya dipaparkan serinci mungkin, terlebih jika sudah ditayangkan untuk umum.

Misalnya, tiap kelompok sembuh di hari keempat, kelima, atau keenam. Kemudian juga tidak dirinci kembali gejala klinis yang dialami pasien seperti apa.

"Karena data ini kesannya kok too good to be true," ungkap Ahmad kepada Kompas.com, Minggu (16/8/2020).

"Padahal kalau kita belajar dari Inggris saat meneliti obat dexamethasone, disebutkan (obat) itu hanya memberikan benefit pada pasien gejala berat dan tidak memberikan benefit pada pasien (Covid-19) dengan gejala ringan," imbuhnya.

Beberapa Temuan Kritis BPOM dalam Inspeksi Uji Klinis Obat Covid-19 UNAIR

Konsorsium Covid-19 Kemenristek Sebut Belum Ada Obat Spesifik untuk Sembuhkan Virus Corona

UNAIR Klaim Sudah Racik Obat Covid-19: Belum Dinamai, hingga Masih Tunggu Izin Edar BPOM

Gempa Kembar Guncang Bengkulu, BMKG Ungkap Dua Kemungkinan Penyebabnya

Artinya, penelitian sebaiknya ditulis sangat spesifik dan khasiat apa yang dirasakan pasien.

"Ketika penelitian enggak serinci itu, apa bedanya dengan temuan obat Hadi Pranoto," tegas Ahmad.

Pada bagian hasil PCR juga disebut Ahmad tidak lazim.

Ini karena data tersebut menggunakan Chi Square, di mana dikatakan Ahmad itu angka statistik yang tidak digunakan secara umum.

"Umumnya, studi fase III di awal metode (peneliti) akan mengatakan, kami menggunakan metode statistik A untuk menghitung perbedaan antara tanpa terapi dan dengan terapi. Nah, ini tidak disebutkan. Mereka (tim Unair), ujug-ujug menyebutkan Chi Square," katanya.

"Kemudian semua kelompok negatif kecuali kelompok SoC, ini hampir too good to be true. Di sini ada pemberian hidroksiklorokuin, yang enggak ada manfaat sebenarnya," imbuhnya.

Halaman
12
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved