Jadi Saksi di Sidang Gugatan UU No.19 Tahun 2019 tentang KPK, Novel Baswedan Ungkap Harapannya

Seusai menghadiri sidang gugatan UU KPK terbaru sebagai saksi, pria kelahiran Semarang, 22 Juni 1947 tersebut mengungkapkan harapannya.

Tribunnews/Herudin
Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan memberikan kesaksian dalam sidang kasus penyiraman air keras terhadapnya di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, di Jakarta Pusat, Kamis (30/4/2020). Majelis Hakim menghadirkan Novel Baswedan sebagai saksi utama dalam sidang kasus penyiraman air keras terhadap dirinya dengan terdakwa Rony Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette. 

Sehingga, tindakan menghilangkan, merusak atau melenyapkan barang itu selagi penyidik KPK masih menunggu izin Dewas KPK, tidak punya konsekuensi pidana.

"Contoh, terkait alat komunikasi chatting yang harus direspons segera. Tapi karena perizinan, maka penyidik hanya bisa mencatat lebih dulu barangnya apa. Bila orang yang mempunyai atau menguasai barang, tidak mau memberikan barang itu, maka penyidik setelah mencatat, mengajukan izin ke dewan pengawas dan besoknya atau lusa baru bisa melakukan penyitaan," kata Novel di hadapan Majelis Hakim Konstitusi.

"Tidak ada yang bisa menjamin barang atau buktinya tetap utuh tetap ada. Dan orang ini kalau menghilangkan bukti atau alat bukti, tidak bisa berkolerasi pidana karena barangnya belum menjadi barang bukti. Berbeda ketika orang merusak barang bukti ada konsekuensi pidana. Hal ini yang menjadi permasalahan," jelas dia.

Novel Baswedan: Indonesia Benar-benar Berbahaya bagi Orang yang Memberantas Korupsi

Jaksa Fredrik Adhar Syaripuddin Meninggal Dunia, Novel Baswedan Sampaikan Duka Cita

Potensi Kebocoran Kasus Jadi Lebih Tinggi

Penyidik Senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan menyebut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK membuat potensi kebocoran kasus jadi lebih tinggi.

Sebab, UU Nomor 19 Tahun 2019 juga menambah panjang birokrasi.

"Proses yang terlalu panjang akan menghambat kecepatan KPK merespons cepat dan kedap. Kata-kata kedap ini kaitannya dengan kebocoran. Keberhasilan tindakan tentu ketika KPK melakukan dengan proses tidak bocor, karena proses yang bocor membuat keadaan berubah. Orang yang akan ditangkap atau alat bukti akan menjadi hilang," kata Novel dalam sidang.

Padahal, kata Novel, dalam UU KPK yang lama dengan proses tanpa perizinan saja sudah terjadi kebocoran informasi.

Dalam UU KPK hasil revisi, birokrasi terkait hal itu justru ditambahkan lagi. Sehingga, berdampak pada risiko kebocoran yang makin tinggi pula.

"Proses yang panjang berpotensi kebocoran menjadi lebih tinggi. Padahal birokrasi yang tidak terlalu panjang pun sudah terjadi, apalagi jika menambah birokrasi. Risiko kebocoran menjadi semakin tinggi," tuturnya.

Menurutnya, kebocoran yang terpublikasi bukan saja bisa menggagalkan sebuah operasi, tapi juga mengancam keselamatan petugas di lapangan.

Ia menyebut ada beberapa kejadian yang menimpa pegawai KPK saat mau mengamati terduga korupsi.

Saat tiba di sebuah tempat, mereka justru ditunggu dan diserang oleh pihak yang menjadi target pengamatan.

"Kebocoran bukan sekedar gagalnya operasi, tapi keselamatan petugas di lapangan. Karena ada beberapa kejadian, itu pegawai KPK di lapangan justru ditunggu oleh pihak yang akan dilakukan pengamatan dan beberapa telah diserang. Risiko ini terjadi nyata," tuturnya.

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Saksi Sidang Gugatan UU KPK Baru, Novel Baswedan Ungkap Potensi Tinggi Hilangnya Bukti Korupsi dan Bersaksi di Sidang Gugatan UU KPK, Novel: Birokrasi Panjang Bikin Potensi Kebocoran Lebih Tinggi

(TribunPalu.com/Rizki A.) (Tribunnews.com/Danang Triatmojo)

Sumber: Tribun Palu
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved