Pro Kontra Seputar RUU Larangan Minuman Beralkohol, Kata KPAI hingga Asosiasi Distributor Minol

Pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol juga menuai pro dan kontra dari berbagai pihak.

Warta Kota
Ilustrasi minuman beralkohol. Pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol juga menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. 

5. ADMA: Berpotensi Munculkan Pasar Gelap

Ketua Asosiasi Distributor Minuman Beralkohol (ADMA) Golongan A Bali, Frendy Karmana menyebut, larangan minuman alkohol (minol) dapat memberi dampak buruk bagi daerah wisata seperti Bali.

Menurutnya, aturan ini berpotensi melahirkan transaksi jual beli ilegal atau pasar gelap minuman alkohol.

Sehingga, minuman alkohol ini akan tetap ada namun akan sulit dikontrol peredarannya akibat dilarang.

"Dilarang tapi enggak mungkin bisa hilang yang ada black market, nanti ada pungli pasti itu. Jadi, akhirnya maksudnya barangnya tetap ada tapi malah enggak terkontrol," kata Frendy, saat dihubungi Kompas.com, Jumat (13/11/2020).

Ia menyebut, dalam Pasal 8 Angka 2 RUU Minol ini memang membolehkan minuman beralkohol untuk kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi, dan di tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan.

Namun, pengawasan di lapangan yang akan menyulitkannya.

"Meskipun di pasal 8 ada untuk wisatawan. Ini akan abu-abu, yang boleh jual siapa. Yakin hanya dijual ke wisatawan saja? bukan orang lokal saja. Ini nanti malah timbul pungli," kata dia.

Menurutnya terkait minuman beralkohol yang sebaiknya ditegaskam adalah pengawasan dalam penjulannya.

Artinya yang diperbolehkan membeli adalah warga dengan usia 21 tahun ke atas.

Penjual harus menanyakan KTP sebelum transaksi dilakukan.

"Nanti kalau ada yang melanggar itu apa hukumannya. Itu yang harus ditegaskan," kata dia.

Ia mengatakan, RUU ini juga akan memukul usaha minol di Pulau Dewata, terutama golongan A.

Ia mengatakan, hampir 70 persen pedagang minol golongan A yakni bir di Bali adalah pengecer.

Untuk konsumsi minol golongan A di Bali mencapai 100.000 krat dalam satu bulan.

Dari jumlah itu, hampir 70 persen dikonsumsi wisatawan domestik dan asing.

Sisanya, untuk kebutuhan lokal seperti saat acara-acara di desa atau upacara keagamaan.

Ia berharap pemerintah menekankan edukasi dengan menegaskan batasan umur konsumsi daripada melarang.

6. Center for Indonesian Policy Studies (CIPS): Kurang Tepat di Negara Plural

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan mengatakan, pemerintah sebaiknya memfokuskan diri pada penegakan hukum dari peraturan yang sudah ada.

Selain penegakan hukum, pemerintah juga seharusnya mampu merumuskan peraturan yang mampu mengakomodir perkembangan dari kehidupan masyarakat.

Menurutnya, peraturan yang ada belum menyentuh penjualan dan pengawasan dari minuman beralkohol yang dijual secara daring.

Pingkan menyebut pemerintah perlu mempertimbangkan aspek ini jika memang tujuan dari pembuatan RUU Larangan Minuman Beralkohol untuk melengkapi apa yang sudah ada.

"CIPS menilai bahwa klaim-klaim yang ada di dalam RUU tersebut tidak tepat sasaran dengan kondisi yang terjadi di lapangan. Baik naskah akademik maupun materi presentasi pembahasan Baleg terkait RUU Minol ini terlampau mengeneralisir permasalahan dan tidak didukung oleh data empiris yang memadai," katanya dalam keterangan sebagaimana diberitakan Tribunnews.com Kamis (12/11/2020).

"Inisiatif untuk membuat peraturan perlu memperhatikan perkembangan dari objek yang diatur di dalamnya. Sekarang minuman beralkohol tidak hanya dipasarkan secara langsung tetapi juga lewat daring. Transaksi e-commerce tentu memiliki karakteristik yang berbeda dengan transaksi secara langsung," sambungnya.

Dia menilai pemerintah perlu memperhatikan hal ini, seperti soal mekanisme pengawasannya dan mengatur sanksi bagi pelanggar.

Baleg DPR dan Naskah Akademik per tahun 2014 mengklaim landasan perumusan RUU Minol ini setidaknya terdapat empat aspek yang dijadikan justifikasi mengapa RUU ini perlu segera disahkan.

Keempat aspek tersebut ialah perspektif filosofis, sosial, yuridis formal, dan upaya pengembangan hukum.

Fraksi pengusul menekankan bahwa larangan minuman beralkohol hakekatnya amanah konstitusi dan agama.

Poin ini menjadi menarik karena minuman beralkohol merupakan komoditas yang secara legal dapat dikonsumsi dan diperjualbelikan di Indonesia seturut dengan peraturan yang berlaku.

Tidak ada larangan yang secara eksplisit mengatakan bahwa minuman beralkohol bertentangan dengan konstitusi.

Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 Tahun 2014, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 72 Tahun 2014 hingga Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25 Tahun 2019 telah memberikan payung hukum untuk pembatasan dan pengawasan dari minuman beralkohol di Indonesia.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2004 pun juga sudah ditegaskan bahwa minuman beralkohol merupakan komoditas yang diperdagangkan dan berada dalam pengawasan.

"Rasanya kurang tepat jika sebagai negara hukum, Indonesia masih memberlakukan peraturan perundang-undangan yang cenderung mengabaikan aspek pluralitas keagamaan di Indonesia," ujar Pingkan.

Terkait dengan aspek sosial klaim yang disampaikan oleh fraksi pengusul juga tampak mengabaikan situasi empiris.

Pada kenyataannya, konsumsi minuman beralkohol di Indonesia relatif lebih rendah dibandingkan negara lain, dan itu pun masih didominasi oleh minuman beralkohol tidak tercatat atau ilegal.

SUMBER: TRIBUNNEWS.COM, KOMPAS.COM

(TribunPalu.com)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved