Puasa Ramadhan 2021

Puasa Bagi Ibu Menyusui, Perhatikan Kondisi Kesehatan dan Tuntunan Syariat Islam

Ibu menyusui diperbolehkan berpuasa, namun harus memperhatikan kondisi kesehatannya dan sesuai dengan tuntunan islam.

Istimewa
Ilustrasi ibu menyusui 

TRIBUNPALU.COM - Beberapa ibu menyusui memilih berpuasa, namun ada juga yang memilih tidak berpuasa Ramadhan demi kebaikan asi yang diproduksinya.

Dikutip dari laman Tribunnews.com, dokter spesialis laktasi dr Ameetha Drupadi mengatakan jika ibu menyusui harus mengutamakan tidur siang saat berpuasa.

Hal ini dilakukan guna memaksimalkan makanan yang dikonsumsi sang ibu agar bisa diserap oleh bayi.

"Jadi jangan sampai puasa terus kerja. Jangan akhirnya kita capek, apa yang kita makan larinya ke tenaga ibu bukan lari ke ASI," ujarnya dikutip dari Tribunnews dalam IG live bersama Nakita.id, Minggu (18/4/2021).

Bagi ibu menyusui yang bekerja di kantoran, istirahat siang juga harus dilakukan.

Baca juga: Hukum Suntik Vaksin saat Sedang Berpuasa Ramadhan, Berikut Penjelasan Detailnya

Baca juga: Jadi Mualaf, 4 Artis Ini Jalani Puasa Pertama pada Ramadhan 2021

Ilustrasi wanita hamil.
Ilustrasi wanita hamil. (liberationnews.org)

Terutama bagi ibu kantoran yang memompa ASI pada malam hari.

"Ibu bekerja di kantor usahakan 1 jam atau setengah jam, minta istirahat tiduran harus ada waktu istirahat," imbau dr Ameetha.

Ia menjelaskan, ibu menyusui harus memperbanyak mengonsumsi makanan yang mengandung karbohidrat, protein hewani, serat dan air.

Hukum Berpuasa bagi Ibu Menyusui

Dalam syariat islam, ibu menyusui merupakan satu dari beberapa golongan yang diizinkan tidak berpuasa.

Lalu bagaimanakah hukum berpuasa bagi ibu hamil atau menyusui?

Ustaz Adi mengatakan terdapat dua pendekatan kaidah fikih untuk menentukan hukum berpuasa bagi ibu hamil atau menyusui.

Yang pertama, pendekatan hakiki.

Baca juga: Bacaan Doa Berbuka Puasa Beserta Niat Puasa Ramadhan, Lengkap Bahasa Arab, Latin, dan Artinya

Baca juga: Mainaka Positif Covid-19, Nia Ramadhani Rela Temani sang Putra Isolasi Mandiri: Dia Mau Sama Aku

Pendekatan hakiki merupakan penyebab orang tak boleh berpuasa karena memang dirinya tidak diperbolehkan untuk berpuasa.

Dalam tayangan tersebut, UAH memberikan contoh seperti orang sakit yang penyakitnya tidak nampak dan membuatnya tidak bisa melaksanakan puasa.

"Misalnya orang sakit yang penyakitnya tidak nampak," ujarnya dalam memberikan contoh.

Ia menyebut penyakit kanker, diabetes yang mengharuskan konsumsi obat secara berkala dan sejenisnya.

"Seperti kanker, diabetes yang harus infus atau treatment dalam waktu tertentu," sambungnya.

Kedua, ialah pendekatan maknawi.

Pendekatan ini disebut UAS sama seperti pendekatan hakiki.

Yaitu memiliki keadaan yang sama dengan orang sakit, namun mempunyai kondisi yang berbeda.

"Sebabnya sama kayak orang sakit, tapi kondisinya berbeda," sambung UAH.

Baca juga: Bacaan Doa Buka Puasa dan Niat Puasa Ramadhan, Lengkap dengan Bahasa Arab, Latin, dan Artinya

Baca juga: Resep Mudah Menu Buka Puasa Ramadhan 2021: Cantik Manis Nangka dan Es Pisang Ijo

Ia menyontohkan pada kasus tersebut ialah ibu hamil atau menyusui.

Mereka diperbolehkan tidak berpuasa karena dikhawatirkan akan mengganggu pertumbuhan bayi ataupun proses produksi asi untuk anaknya.

Ibu hamil membutuhkan masukan kalori dalam tubuh sekitar 2.200 hingg 2.300 kalori.

Sementara itu untuk ibu menyusui membutuhkan kurang lebih 2.200 hingga 26.00 kalori untuk memenuhi kebutuhan dirinya.

"Paling tidak ibu hamil butuh sekitar 2200-2300 kalori dan 2.200-2.600 untuk ibu menyusui," ujar UAH.

Baca juga: Serba-serbi Es Buto Ijo, Minuman Segar Cocok untuk Buka Puasa Ramadhan: Sejarah hingga Cara Membuat

Beberapa ibu mengklaim bahwa dirinya kuat untuk berpuasa dalam keadaan hamil atau menyusui.

Namun UAH menyampaikan, sangat disayangkan jika merasa kuat tetapi harus ada apa-apa dengan bayinya.

Dalam contoh lain, ia memaparkan jika ibu hamil atau menyusui kuat untuk berpuasa, namun banyak mengeluh saat menjalankannya.

Sehingga dengan kondisi seperti inilah, UAH menyebut boleh berbuka di sepanjang waktu puasa atau tidak berpuasa sekaligus.

UAH memamaparkan tidak ada perselisihan antar ulama dalam menangani kasus tersebut.

Para ulama sepakat memperbolehkan berbuka bagi mereka yang sedang hamil atau menyusui.

Meskipun tidak berpuasa, mereka wajib membayar puasa di lain waktu dan membayar fidyah.

"Kalau hamil boleh tidak puasa, tapi wajib qadha atau fidyah," ungkap UAH.

Ia menjelaskan lebih detail terkait pembayaran puasa dan fidyah.

Baca juga: Apakah Tes Swab dan Rapid di Bulan Ramadhan Bisa Membatalkan Puasa?

Baca juga: Bacaan Doa Buka Puasa dan Niat Puasa Ramadhan Lengkap, Bahasa Arab, Latin, dan Artinya

Baginya terdapat tiga kekhawatiran ibu hamil atau menyusui saat menjalankan ibadah puasa.

Pertama, khawatir pada dirinya yang ditakutkan tidak kuat berpuasa.

Orang yang mengalami hal tersebut wajib membayar puasanya di hari lain setelah bulan Ramadhan.

Kedua, khawatir terhadap dirinya dan bayinya.

Dalam hal ini mereka mengkhawatirkan keadaan dirinya ataupun bayinya, maka diwajibkan membayar puasa dan fidyah.

"Puasa untuk dirinya, fidyah untuk bayinya," tandas UAH.

Imam Abu Hanifah mengatakan agar mendahulukan mengganti puasa daripada membayar fidyah.

"Jika dirasa mampu, dikatakan Imam Abu Hanifah untuk membayar puasa saja," pungkasnya.

(TribunPalu.com/Hakim)

Sumber: Tribun Palu
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved