Penyalahguna Narkoba Sudah Tidak Lagi Dipenjara dan Dipandang Korban, KOK BISA? Ini Kata Jaksa Agung
Jaksa Agung RI Sanitiar (ST) Burhanuddin soal Pelaku penyalahgunaan narkotika sudah tidak lagi dikenakan hukuman penjara dan dipandang korban.
Melainkan, hanya pengguna yang disebut Burhanuddin merupakan korban tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Menurutnya mereka seharusnya tidak perlu dipenjara, tetapi direhabilitasi.
Burhanuddin menegaskan dengan diterapkannya Pedoman Kejaksaan yang mengacu pada asas keadilan restoratif, maka ke depan jumlah narapidana perkara penyalahgunaan narkotika yang ditahan bisa berkurang signifikan.
”Dengan adanya kebijakan keadilan restoratif terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika akan berdampak pada berkurangnya jumlah narapidana perkara penyalahgunaan narkotika secara signifikan," ucap dia.
Ketika jumlah narapidana berkurang, maka secara otomatis menjadikan petugas lapas bisa memberikan pelayanan dan pemenuhan hak narapidana yang lain dilakukan secara optimal.
"Sehingga secara otomatis beban lembaga pemasyarakatan akan berkurang dan dapat lebih optimal dalam melayani warga binaan serta pemenuhan hak-hak warga binaan akan berlangsung semakin baik," tukas dia.
Sementara itu Ketua Mahkamah Agung Prof Dr H M Syarifuddin menyoroti disparitas pemidanaan dalam perkara narkotika. Hal ini kata dia menjadi masalah dalam penegakan hukum.
Disparitas pemidanaan adalah perbedaan penjatuhan hukuman pidana terhadap perkara-perkara yang memiliki karakteristik serupa.
Syarifuddin mengatakan disparitas pemidanaan tersebut tidak sejalan dengan visi Mahkamah Agung mewujudkan badan peradilan Indonesia yang agung melalui empat misinya.
Empat misi tersebut yaitu menjaga kemandirian badan peradilan, memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan kepada pencari keadilan, meningkatkan kualitas kepemimpinan badan peradilan, dan meningkatkan kredibilitas dan transparansi badan peradilan.
"Terlebih lagi, disparitas pemidanaan pastinya juga bertolak belakang dengan tujuan hukum yaitu kepastian, kemanfaatan, dan keadilan," kata dia.
Selain itu, berdasarkan laporan tahunan Mahkamah Agung, dalam empat tahun terakhir yakni 2017 hingga 2020 tindak pidana narkotika menjadi perkara yang paling banyak diperiksa, ditangani, dan diadili oleh seluruh tingkatan peradilan pidana di Indonesia.
"Jumlah perkara tindak pidana narkotika juga terus meningkat setiap tahunnya," kata dia.
Sedangkan Peneliti Indonesia Judicial Research Society (IJRS) Matheus Nathanael mengatakan, berdasarkan penelitian yang dilakukan lembaganya ditemukan fakta bahwa tuntutan jaksa berpengaruh sangat kuat terhadap hakim dalam menentukan berat atau ringannya pidana pada perkara narkotika.
Penelitian tersebut bertajuk Disparitas dan Kebijakan Penanganan Perkara Tindak Pidana Narkotika di Indonesia: Studi Perkara Tindak Pidana Narkotika Golongan I tahun 2016-2020 (Pasal 111-116 dan pasal 127 UU Narkotika Nomor 35 Tahun 2009).
Matheus menjelaskan pengaruh tuntutan jaksa terhadap putusan hakim terkait perkara peredaran gelap narkotika melalui uji regresi berpengaruh sampai 74 persen. Namun demikian ia mengatakan para peneliti belum mengetahui secara pasti apa penyebab kuatnya pengaruh tersebut.