OPINI

Kabupaten Sawit di Tojo Una-una Sulteng Perluas Potensi Konflik

Pembangunan yang tidak berangkat dari realitas perempuan akan selalu melahirkan kekerasan yang diam-diam tapi dalam.

Editor: mahyuddin
HANDOVER
Pemerhati Lingkungan Hidup Touna Alfandy Ahmad Eyato 

Apakah Gubernur memahami ini ketika menyebut sawit bisa ditanam di halaman dan pasti laku? Ataukah ini hanya strategi populis yang meremehkan kompleksitas relasi perempuan dan ruang hidup?

Saya ingin bertanya lebih jauh: apakah sudah ada kajian dampak ekologis, sosial, dan gender sebelum wacana “Kabupaten Sawit” ini diumumkan? 

Apakah suara perempuan di desa-desa di Tojo Una-una pernah diajak bicara?

Atau, seperti biasa, perempuan hanya akan menjadi obyek pembangunan, disebut-sebut namanya demi membungkus narasi kemiskinan dan pemberdayaan, tetapi tidak pernah benar-benar diajak menentukan arah hidupnya.

Mengubah Tojo Una-una menjadi Kabupaten Sawit bukan hanya pilihan yang gegabah, tapi juga mencerminkan kemalasan berpikir: seolah-olah tidak ada model pembangunan lain yang bisa digagas selain menyerahkan tanah rakyat ke tangan industri.

Ini bukan pembangunan, ini penyeragaman.

Dan dalam sejarah penyeragaman, yang paling dulu terpinggirkan adalah yang paling lemah secara politik: petani kecil, perempuan, dan anak-anak.

Jejak Kehancuran

Sejarah sawit di Indonesia bukanlah sejarah yang manis.

Sejak program Perkebunan Inti Rakyat (PIR) di era Orde Baru hingga ekspansi besar-besaran melalui program transmigrasi, sawit telah mengubah wajah ribuan desa menjadi lahan monokultur.

Di Sumatera, Kalimantan, Papua, Sulawesi Barat, bahkan di beberapa kabupaten yang ada di Sulawesi Tengah

Jejak kehancuran akibat perkebunan sawit hutan gundul, sungai mati, komunitas adat yang tercerabut dari tanahnya akibat Hak Guna Usaha (HGU) yang terbit di atas lahan masyarakat. 

Kenapa harus mengulang itu di Tojo Una-una? Apakah kami buta atau tutup mata terhadap sejarah?

Dalam forum resmi "Lokakarya Penyusunan Peta Jalan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Agraria Sulawesi Tengah" pada 17 April 2025, Gubernur Anwar Hafid sendiri mengakui bahwa konflik agraria di Sulawesi Tengah terus meningkat, terutama sejak daerah ini terbuka luas sebagai wilayah investasi.

Itu adalah pernyataan yang penting sekaligus ironi yang nyata.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved