OPINI

Kabupaten Sawit di Tojo Una-una Sulteng Perluas Potensi Konflik

Pembangunan yang tidak berangkat dari realitas perempuan akan selalu melahirkan kekerasan yang diam-diam tapi dalam.

Editor: mahyuddin
HANDOVER
Pemerhati Lingkungan Hidup Touna Alfandy Ahmad Eyato 

Bagaimana mungkin di satu sisi Anwar Hafid mengakui peningkatan konflik akibat investasi, namun di sisi lain justru mengusulkan perluasan komoditas ekstraktif seperti sawit di daerah yang masih memiliki ketahanan ekologis seperti Tojo Una-una?

Apa yang sedang kalian saksikan adalah kontradiksi dalam logika pembangunan: pemerintah mengetahui risikonya, namun tetap melaju tanpa rambu-rambu.

Jika investasi selama ini terbukti memicu konflik agraria, maka wacana menjadikan Tojo Una-una sebagai "Kabupaten Sawit" bukan solusi, melainkan memperluas potensi konflik di masa depan.

Wilayah Kaya Ekologis

Kabupaten Tojo Una-una memiliki laut indah, perikanan tangkap produktif, hutan tropis yang masih utuh, dan potensi wisata yang luar biasa. 

Kenapa pemerintah tidak memperkuat ekowisata, perikanan berkelanjutan, pertanian organik, atau kehutanan rakyat? Kenapa tidak mendorong kedaulatan pangan lokal yang berbasis pada keragaman tanaman dan pangan endemik?

Bagi saya model pembangunan berbasis sawit menyederhanakan kompleksitas ekonomi lokal menjadi jalur tunggal yang rapuh dan eksploitatif.

Kami menolak Tojo Una-una dijadikan lahan eksperimen investasi ekstraktif. 

Kami menolak gagasan bahwa kemakmuran hanya bisa datang dari komoditas global yang menyamar jadi “kerja ibu rumah tangga”.

Dan kami menolak narasi kemiskinan yang dipakai untuk membenarkan pembabatan hutan serta penghilangan kedaulatan rakyat atas tanahnya sendiri.

Penting ditegaskan, kamitidak membenci pembangunan dan menolak investasi.

Tapi kami percaya, pembangunan yang benar adalah pembangunan yang mendengarkan rakyat, menghormati alam, dan memastikan perempuan tidak hanya disebut, tetapi dilibatkan dalam pengambilan keputusan.

Investasi yang benar bukan yang datang membawa alat berat dan skema penguasaan lahan, tapi yang datang dengan itikad baik, transparansi, dan menghormati hak-hak dasar komunitas lokal.

Tidak boleh lagi mengulang model pembangunan lama yang mengorbankan hutan, air, dan tanah demi pertumbuhan ekonomi yang semu.

Jika investasi berarti menambah luka ekologis dan sosial, maka masyarakat wajib menolaknya.

Jika pembangunan berarti menghilangkan daya hidup perempuan dan komunitas adat, maka masyarakat perlu menyebutnya bukan sebagai pembangunan, tetapi perampasan.

Masyarakat Tojo Una-una harus kritis. Jangan sampai kehilangan hutan, tanah, dan masa depan anak cucu.

Jangan sampai gagasan makmur justru melahirkan kemiskinan ekologis yang permanen.(*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved