OPINI
Migas Mengalir di Selat Makassar, Donggala Tetap Kering
Di tengah euforia produksi migas yang melonjak, satu wilayah pesisir yang justru paling dekat dengan pusat eksplorasi justru tak pernah dihitung.
Oleh: Andika
Anggota Forum Percepatan Pembangunan Donggala
TRIBUNPALU.COM - Selat Makassar telah lama menjadi urat nadi industri migas nasional. Kawasan laut dalam ini menyimpan cadangan gas jumbo yang dieksplorasi dan dikembangkan oleh raksasa energi seperti ENI, Chevron, hingga Pertamina.
Namun, di tengah euforia produksi migas yang melonjak, satu wilayah pesisir yang justru paling dekat dengan pusat eksplorasi justru tak pernah dihitung: Donggala.
Baca juga: Bahaya Berinvestasi dengan Skema Ponzi dan Pentingnya Literasi Keuangan
Kabupaten Donggala, yang membentang di pesisir barat Sulawesi Tengah, berhadapan langsung dengan blok-blok migas aktif seperti North Ganal, West Ganal, dan Ganal IDD—semuanya bagian dari proyek besar Indonesia Deepwater Development (IDD).
Berdasarkan koordinat resmi Kementerian ESDM dan peta wilayah kerja migas nasional, sebagian besar aktivitas eksplorasi itu berada dalam radius 12 mil laut dari garis pantai Donggala.
Itu artinya, secara hukum, Donggala masuk dalam zona terdampak langsung.
Tetapi hingga kini, Donggala tidak pernah diakui sebagai daerah penghasil maupun terdampak.
Baca juga: Front Advokat Rakyat Lingkar Sawit Kunjungi Komnas HAM Sulteng, Bahas Konflik Agraria di Tolitoli
Tak ada Dana Bagi Hasil (DBH), tak ada hak atas Participating Interest (PI) 10 persen, dan tidak pula ada ruang dalam perencanaan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) maupun program tanggung jawab sosial (CSR).
Padahal, regulasi fiskal kita sudah sangat progresif. UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menegaskan bahwa daerah yang wilayah administratifnya berbatasan langsung dengan aktivitas eksplorasi migas, termasuk laut dalam 12 mil, berhak atas DBH. PP No. 55 Tahun 2005, Permen ESDM No. 1 Tahun 2025, hingga Permenkeu No. 91/PMK.07/2023 seluruhnya menyebut satu prinsip penting: kedekatan spasial dan dampak langsung harus menjadi dasar pembagian hasil sumber daya alam.
Lantas apa yang kurang dari Donggala?
Pertama, secara spasial, laut Donggala berbatasan langsung dengan pusat eksplorasi migas. Secara ekologis, aktivitas ini mempengaruhi jalur migrasi ikan, memicu gangguan bagi nelayan, dan membawa risiko pencemaran.
Kedua, secara administratif, wilayah ini termasuk dalam zonasi pemanfaatan migas berdasarkan Perda RZWP3K Provinsi Sulawesi Tengah. Jadi bukan klaim kosong: semua syarat sebagai daerah terdampak terpenuhi.
Ketiga, sisi fiskal, potensi yang hilang sungguh tidak kecil. Estimasi lifting dari blok-blok migas di Selat Makassar mencapai 15.000–30.000 barel per hari. Dengan asumsi harga USD 70 per barel, maka nilai lifting tahunan bisa mencapai USD 767 juta.
Jika hanya 3 % dialokasikan untuk Donggala sebagai daerah terdampak, maka nilainya bisa mencapai Rp172–345 miliar per tahun.
Dana sebesar ini dapat mengangkat kualitas infrastruktur dasar, pendidikan pesisir, dan pemberdayaan nelayan yang kini menanggung beban pembangunan energi nasional.
OPINI
Indonesia Deepwater Development (IDD)
Selat Makassar
Sulawesi Tengah
migas
Kabupaten Donggala
Kementerian ESDM
Dana Bagi Hasil (DBH)
OPINI: Mengukir Hilirisasi di Jalan Berliku, Sebuah Buku Hadiah Ulang Tahun untuk Bahlil |
![]() |
---|
Simbol Global, Semangat Lokal: Refleksi Nasionalisme Lewat One Piece |
![]() |
---|
Dunia Penyiaran dan Gerak Cepat Zaman, Refleksi untuk KPID Sulteng |
![]() |
---|
Menyuarakan Sulawesi Tengah di Era Tanpa Batas |
![]() |
---|
OPINI: Nilai-Nilai Ulil Albab sebagai Paradigma Baru Administrasi Publik Islami |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.