Parigi Moutong Hari Ini
Di Bawah Langit Terbuka, Pak Peta Bertahan di Tengah Terbatasan Nan Sunyi
Di sanalah Pak Peta, pria berusia 47 tahun, menjalani hari-harinya dalam kesendirian yang menyakitkan.
Penulis: Abdul Humul Faaiz | Editor: Regina Goldie
TRIBUNPALU.COM, PARIMO - Dari kejauhan, suara ayam hutan menggelegar samar, bergema di antara deretan daun kelapa yang bergoyang pelan diterpa angin pagi.
Suasana hening itu seakan menyembunyikan kisah pilu yang tersimpan dalam sebuah rumah kecil berbingkai papan kasar, beratap rumbia yang sudah rapuh.
Di sanalah Pak Peta, pria berusia 47 tahun, menjalani hari-harinya dalam kesendirian menyakitkan.
Rumah mungil itu berdiri di atas tanah pribadinya di Desa Toboli Barat, Kecamatan Parigi Utara, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah.
Terletak di tempat yang terpencil, jauh dari keramaian, dengan tetangga terdekat berjarak sekitar 20 meter—seolah dunia memutuskan untuk menjauh dari penderitaannya.
Di balik kesunyian itu tersimpan luka mendalam. Delapan bulan telah berlalu sejak kepergian sang istri, yang dipanggil Tuhan saat sedang berjuang melawan sakitnya.
Baca juga: Menkes RI: 6 Ribu Bayi Meninggal Setiap Tahunnya Akibat Kelainan Jantung Bawaan
Dulu, rumah itu dipenuhi tawa dan suara anak perempuan serta pembantu rumah tangga. Kini, hanya ada diam dan sepi yang menemani Pak Peta.
“Anak saya sekarang ikut suaminya, tinggal di tempat lain,” ucapnya dengan suara berat, duduk terpaku di bangku kayu yang reyot di depan rumahnya yang sederhana.
Bangunan itu lebih menyerupai pondok darurat—papan-papan tak berlapis yang berlubang memberi jalan bagi angin dingin dan debu masuk dengan leluasa. Atapnya dari daun rumbia yang sudah lapuk, dan lantainya tanah yang basah serta sering tergenang air ketika hujan mengguyur.
Melangkah ke dalam rumah, kesan keterbatasan semakin terasa. Dapur hanya terdiri dari tungku semen sederhana, tempat ia membakar kayu bakar yang sering kali basah dan susah menyala saat hujan turun deras. Panci dan wajan penuh jelaga, tanda perjuangan bertahan hidup yang terus berulang.
Baca juga: 120 Pemulung di Sigi Sudah Dilindungi BPJS Ketenagakerjaan Selama Setahun
“Kalau mau masak, saya harus cari kayu dulu. Kadang hujan, kayunya basah, jadi sulit menyala,” katanya lirih.
Dulu, ia bisa menumpang listrik dari tetangga dengan membayar Rp10.000 per lampu setiap bulan, total Rp20.000 untuk dua lampu. Namun, aliran listrik itu kini telah diputus karena beban listrik tetangganya tak mampu menahan lagi.
“Saya mengerti, tidak bisa memaksa. Sekarang saya hanya mengandalkan senter atau lampu minyak kalau ada,” ujarnya pasrah.
Pak Peta hidup sebagai buruh serabutan, mencari nafkah dari hasil panen kebun orang atau mencari rotan di hutan. Penghasilannya tidak menentu, tergantung siapa yang membutuhkan jasanya.
Dalam kesulitan itu, bantuan pangan non tunai dari pemerintah menjadi penopang hidupnya, sembako yang ia ambil setiap tiga bulan sekali di kantor pos. Itulah sumber penghidupan ketika pekerjaan tidak datang.
“Kalau tidak ada kerja, saya makan seadanya. Kadang singkong, kadang nasi sisa. Sudah terbiasa seperti ini,” katanya dengan nada yang menunjukkan keikhlasan.
Dulu, ia dan keluarganya hanya menumpang di tanah orang. Namun demi memenuhi syarat program bantuan bedah rumah, ia harus memiliki tanah sendiri. Maka, dengan segala keterbatasan, ia membangun rumah seadanya di atas tanah miliknya.
Jarak antara rumah lama dan yang sekarang hanya sekitar 40 meter. Dari rumah yang dulu ramai, kini berubah menjadi tempat penuh kesunyian.
“Saya bangun rumah ini dari papan bekas dan atap rumbia. Kalau harus menunggu bantuan, entah sampai kapan,” tuturnya.
Baca juga: PT IMIP Siapkan SDM Siap Kerja Lewat Beasiswa Penuh di Politeknik Industri Logam Morowali
Pak Peta hanya berharap ada tangan-tangan dermawan atau perhatian pemerintah yang dapat mengubah nasibnya. Ia ingin sebuah rumah yang layak—bukan kemewahan, tapi cukup untuk berlindung dari hujan dan panas, dan yang paling sederhana, memiliki listrik agar malam tidak gelap gulita.
Kisah Pak Peta bukanlah pengecualian. Banyak warga desa lain yang hidup dalam keterbatasan, membangun tempat tinggal seadanya demi syarat mendapatkan bantuan. Namun, tak semua beruntung, karena proses panjang dan seleksi ketat harus dilalui.
Meski hidup dalam kepedihan dan keterbatasan, Pak Peta tak pernah mengeluh. Ia tetap tekun menyapu halaman setiap pagi, membersihkan dapur seadanya, dan menanam sayur di pekarangan, berharap hidupnya tetap bermakna.
“Saya hanya ingin listrik, agar malam tidak gelap. Rumah yang tidak bocor saat hujan. Itu sudah cukup untuk saya,” ujarnya, penuh harap. (*)
Pedagang Sayur Pasar Sentral Parigi Mulai Direlokasi ke Sisi Timur |
![]() |
---|
Wabup Parigi Moutong Apresiasi BI dan TNI AL Jalankan Ekspedisi Rupiah Berdaulat |
![]() |
---|
Wabup Parigi Moutong Tegaskan Rehabilitasi Irigasi Parigigimpuu dan Korontua Harus Tepat Waktu |
![]() |
---|
Abdul Sahid Tekankan Pentingnya Izin Resmi Agar Tambang di Parigi Moutong Tertib dan Berdaya Guna |
![]() |
---|
DLH Parimo Uji Coba Bio-Reaktor Penjernih Air Tambang, Dorong Pengelolaan Lingkungan Ramah Teknologi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.