OPINI
Kesaktian Pancasila: Menyatukan Bangsa Lawan Darurat Hipertensi dan Diabetes
Data Riskesdas tahun 2023 menunjukkan bahwa sekitar 33,4 % penduduk dewasa menderita hipertensi, sementara 10,6 % hidup dengan diabetes.
Oleh: Prima Trisna Aji
Dosen prodi Spesialis Medikal Bedah Universitas Muhammadiyah Semarang
TRIBUNPALU.COM - “Pancasila bukan sekadar teks yang dihafal setiap 1 Oktober, tetapi napas gotong-royong
yang harus hadir di rumah-rumah dan meja makan kita."
Itulah sebuah pesan yang sederhana tetapi sangat bermakna bagi kita semua di Hari Kesaktian Pancasila.
Mengingat Kesaktian di Tengah Ancaman Baru Setiap tanggal 1 Oktober bangsa ini menundukkan kepala, mengenang peristiwa kelam 1965 dan meneguhkan kembali Pancasila sebagai penyangga persatuan.
Namun, enam dekade kemudian, Indonesia menghadapi “pertempuran” lain yang tak kalah berbahaya: darurat
penyakit tidak menular terutama hipertensi dan diabetes.
Keduanya kerap disebut silent killer karena berjalan diam-diam namun memicu komplikasi jantung, stroke, gagal ginjal.
Data Riskesdas tahun 2023 menunjukkan bahwa sekitar 33,4 persen penduduk dewasa menderita hipertensi, sementara 10,6 % hidup dengan diabetes.
Lebih dari separuh tidak sadar bahwa dirinya sakit hingga terlambat berobat.
Di balik angka itu tersembunyi kerugian besar: kualitas hidup menurun, biaya klaim BPJS Kesehatan untuk penyakit jantung dan komplikasi hipertensi menembus Rp 10 triliun pertahun (Kemenkes 2024), dan ancaman gagalnya bonus demografi tahun 2045 karena generasi produktif sakit sebelum waktunya.
Hari Kesaktian Pancasila tahun ini mengingatkan kita: kesaktian bangsa tidak hanya diuji di medan tempur sejarah, tetapi juga di ruang tunggu klinik, dapur keluarga, dan layar gawai tempat hoaks kesehatan beredar.
Kesehatan sebagai Pilar Ketahanan Nasional
Ketahanan nasional bukan sekadar soal pertahanan militer.
Bangsa Indonesia dengan jutaan warga sakit kronis tidak akan mampu bersaing di era global.
Sila Kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab menuntut negara menjamin akses layanan kesehatan yang setara dari Sabang hingga Merauke.
Faktanya, kesenjangan layanan masih terasa: warga perkotaan lebih mudah mendapat edukasi dan obat hipertensi, sementara di banyak desa alat tensi darah pun langka.
Di sinilah semangat “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” (Sila Kelima) harus diterjemahkan menjadi kebijakan nyata: obat murah, edukasi gizi sampai ke pelosok, sertaposyandu yang hidup kembali.
Gotong-Royong Lawan Faktor Risiko
Penyakit kronis ini tidak lahir dari ruang hampa. Pola makan tinggi gula, garam, lemak dan kurang aktivitas fisik, merokok, dan stres menjadi bahan bakar utamanya.
Selama pandemi COVID-19 kita belajar bahwa gotong-royong merupakan nilai luhur Pancasila yang mampu menurunkan angka penularan lewat gerakan masker dan vaksinasi massal.
Semangat serupa perlu dihidupkan kembali untuk “Gerakan Kurangi Garam, Bergerak 30 Menit Sehari, dan Kontrol Tekanan Darah”.
Aksi kolektif sederhana seperti memasang alat tensi darah di balai RW, menggelar Senam Pagi Pancasila di halaman masjid, hingga lomba masak rendah garam di hari kemerdekaan bisa menjadi wujud nyata kesaktian gotong-royong melawan penyakit tak menular.
Melawan Hoaks dan Ketidaksetaraan Informasi
Musuh lain yang diam - diam merongrong kesehatan adalah hoaks medis: mulai dari klaim “obat herbal bisa menyembuhkan semua penyakit” hingga narasi konspirasi tentang obat antihipertensi.
Survei Kemenkominfo pada tahun 2024 mencatat sebesar 37 % warga Indonesia masih percaya informasi kesehatan dari pesan berantai WhatsApp. Ini menandakan perang melawan disinformasi belum selesai.
Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa mengajarkan kita akan pentingnya kejujuran dan kebenaran; Sila Keempat Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan menuntut keputusan berbasis ilmu pengetahuan.
Maka kesaktian kita hari ini juga berarti berani memutus rantai hoaks, mengedepankan edukasi berbasis bukti ilmiah, dan mengajak tenaga kesehatan berperan sebagai komunikator publik di media sosial.
Peran Generasi Muda dan Komunitas Lokal
Bonus demografi 2030-an hanya akan menjadi berkah jika generasi mudanya sehat.
Riset BKKBN 2025 menunjukkan 35,5 % remaja putri mengalami anemia benih masalah hipertensi dan diabetes di masa depan.
Momentum Hari Kesaktian Pancasila bisa menjadi titik balik gerakan sekolah dan kampus: kantin sehat, larangan minuman berpemanis berlebih, bike to campus, hingga kampanye “Cek Tekanan Darah Sejak Remaja”.
Di tingkat akar rumput, masjid Muhammadiyah, pesantren NU, PKK, dan karang taruna dapat menjadi motor edukasi gizi seimbang dan olahraga bersama.
Inilah gotong-royong ala Pancasila yang konkret dan dekat dengan keseharian warga.
Kesaktian yang Membumi di Meja Makan
Banyak studi yang menunjukkan bahwa perubahan kecil di rumah bisa berdampak besar: mengganti garam dapur dengan bumbu alami, menambah porsi sayur-buah, membatasi gorengan, serta rutin jalan kaki minimal 6.000 langkah per hari.
Mewujudkan itu tidak perlu menunggu program raksasa. Cukup dimulai dari keluarga, RT, RW.
Pancasila menjadi sakti justru ketika hadir di meja makan: menghadirkan lauk bergizi seimbang untuk anak dan orang tua.
Penutup: Sakti karena Bersama
Kesaktian Pancasila tidak lagi diukur dari berapa senjata yang bisa diangkat, tetapi sejauh mana kita mampu menjaga tubuh bangsa tetap sehat dan produktif.
Bangsa Indonesia tidak kekurangan dokter, perawat, ataupun relawan; yang kita butuhkan adalah kesatuan tekad: pemerintah memastikan akses dan regulasi, tenaga medis memberi edukasi, masyarakat
mengubah gaya hidup, dan media memberantas hoaks.
Jika nilai-nilai Pancasila hidup dalam tindakan kolektif itu, maka bangsa ini benar-benar sakti
menghadapi musuh baru yang senyap namun mematikan: hipertensi dan diabetes.
“Kesaktian itu lahir ketika kita bergandengan tangan, menaruh sayur di piring, dan tidak
membiarkan siapa pun berjuang sendirian di ruang IGD.”(*)
| Bahasa Inggris: Tiket Masuk Dunia Global bagi Generasi Muda Indonesia |
|
|---|
| Bus Trans Palu: Ketika Roda Tak Berputar, Uang Rakyat Jangan Terus Dialirkan |
|
|---|
| Transformasi Sosial dalam Festival Sastra |
|
|---|
| Mereka Ingin Hidup Sehat Lebih Lama: Trend Longevity sebagai Tantangan dan Harapan |
|
|---|
| Strategi Penguatan Pembinaan dan Pengawasan Tertib Penggunaan Frekuensi Radio Nelayan |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/palu/foto/bank/originals/Kesaktian-Pancasila-Menyatukan-Bangsa-Lawan-Darurat-Hipertensi-dan-Diabetes.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.