OPINI
Pemutihan dan Penyelamatan Pendidikan
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pembiayaan dalam Pendidikan memerlukan penganganan tersendiri dan sedemikian dinamis.
Oleh: Mukhlis Mustofa
Dosen Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar ( PGSD ) Universitas Slamet Riyadi ( UNISRI ) Solo
TRIBUNPALU.COM - Heroisme Gubernur Jakarta melakukan pemutihan ijazah bagi siswa tidak mampu sebagi pemberitaan di Kompas.com 3 Oktober 2025 menjadi asa tersendiri pada edukasi negeri ini.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pembiayaan dalam Pendidikan memerlukan penganganan tersendiri dan sedemikian dinamis.
Layanan Pendidikan sebuah sekolah mau tidak mau terpengaruh dengan pola pembiayaan ini dan masalah utama ini banyak dirasakan pada Lembaga Pendidikan swasta.
Sebut saja, Asri dan Anton seorang guru SD swasta dengan susah payah menghafal naskah teks untuk video pembelajaran kelas 2, proses pembuatan video tersebut dilakukan dengan susah payah tidak terhitung lagi berapa puluh kali mengambil gambar hingga sukses diupload di YouTube dan siswa pun antusias menyaksikannya guru muda paham IT di SD swasta yang sama, Proses itu dilakukan bukan tanpa alasan ataupun gagah-gagahan namun untuk menjaga ritme pembelajaran agar tetap berlangsung di
masa pendemi saat ini .
Ilustrasi diatas menggambarkan betapa susah payahnya dengan segala rupa sang guru menyajikan pembelajaran agar tetap berada pada marwah pencerdasan apapaun bencana melanda.
Saya meyakini barisan guru-guru sekolah swasta lain pun memeras otak menyingkirkan kepentingan pribadi dan terkadang meninggalkan protokol perlindungan diri demi studi siswa tidak terhenti.
Langkah ini mayoritas dilakukan sekolah swasta disebabkan hidup mati sekolah tersebut dipengarui bagaimanakah sambutan layanan pendidikan pada khalayak.
Tingkat kepuasan khalayak pada sekolah swasta merupakan harga mati mengingat tanpa ada peminatan khalayak bisa dipastikan bagaimana perkembangan sekolah dimasa mendatang.
Pemenuhan peminatan tersebut berkonsekuensi pada penarikan SPP pada orang tua siswa.
Definisi SPP berdasarkan kamus besar Bahasa Indonesia adalah Sumbangan Pembinaan Pendidikan.
Saat ini SPP diberlakukan di Sekolah swasta dibandingan sekolah negeri yang seluruh kebutuhanya dicukupi negara.
Kebijakan ini muncul diisebabkan sekolah swasta merupakan usaha yang dilakukan publik dalam ikhtiar pencerdasan anak bangsa dan tidak ditanggung negara sepenuhnya.
Melihat sekelumit perjuangan penyediaan layanan belajar swasta tersebut menyisakan tanda tanya besar manakala khalayak masih mempertanyakan penggunaan SPP di sekolah Swasta.
Keberimbangan penyikapan pun tidak terjadi manakala melihat nuansa perjuangan guru sekolah swasta. Publik pun seakan lebih suka menghakimi sekolah swasta dalam segala aspek tanpa mempertimbangkan sisi historis dan menempatkan sekolah swasta sekedar pelengkap penderita.
Terlebih pada masa kini publik sedemikian kuat menstigmakan sekolah swasta pencekik nadi keuangan dan minim toleransi.
Muncul pertanyaan besar Bagaimanakah memposisikan.
SPP dalam menjaga asa dan nyawa sekolah swasta merupakan sebuah permasalahan pokok yang harus dipersepsikan dalam keadilan peran kebersamaan.
Ujian Kesetiaan
Berkhidmat di sekolah swasta mengharuskan seluruh warga sekolah dari pengelola, guru hingga penjaga sekolah dalam satu frame mempertahankan keberadaan sekolah tersebut.
Persepsi ini bukan hadir secara pragmatis mengingat keberadaan sekolah swasta merupakan sebuah idealisme dalam ikhtiar merenda masa
depan.
Implikasinya pelestarian sekolah tersebut menjadi harga mati seiring menjaga negeri.
Sumber data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2018 Jumlah Sekolah Menurut Jenjang Tahun Ajaran 2017/2018 dari jenjang SD sampai Sekolah Lanjutan Atas (SLTA), termasuk Sekolah Luar Biasa (SLB) di Indonesia mencapai 307.655 sekolah pada tahun ajaran 2017/2018.
Jumlah tersebut, berdasarkan data pokok pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terdiri
atas 169.378 sekolah negeri dan 138.277 sekolah swasta.
Peran strategis sekolah swasta tersebut menjadikan Persepsi Siswa apapun jenjang pendidikannya adalah
nyawa jika tidak pandai mengolah maka nyawa dipertaruhkan.
Kemenangan ideologis inilah yang menjadikan sebagaian masyarakat negeri ini memilih bersekolah di sekolah swasta.
Persepsi selama ini manakala ingin menjadikan anak kuat dalam ideologi tertentu baik agama maupun nasionalis maka pilihlah sekolah dengan ideologis kuat dalam hal ini banyak dilaksanakan sekolah swasta dibandingkan sekolah negeri.
Konsekuensinya muatan keagamaan ataupun nasionalisme lebih besar dibandingkan sekolah negeri.
Masyarakat memilih sekolah swasta bukannya tidak mengetahui konsekuensi namun mereka menyadari kualitas pendidikan mempengaruhi masa depan sehingga tidak main main memilih sekolah
swasta.
Pendaftaran sejak dini, pembayaran yang lebih besar menjadi elemen tak terpisahkan menyikapi pilihan di selolah swasta ini.
Tindakan tersebut dianggap diluar nalar pendidikan namun memperoleh pendidikan terbaik adalah hak setiap warga negara tidaklah salah jika sekolah swasta diminati dengan segala keunggulannya.
Menyikapi fenomena tersebut diatas teramat aneh manakala orangtua mengeluh SPP karena itu nyawa sekolah swasta.
Jejak ideologis pun berganti pragmatisme bahkan sekedar peneguhan gengsi tanpa mempertimbangkan essensi.
Persepi ini bukan hadir tiba-tiba namun berpijak pola pembelajaran yang dilakukan selama masa pendemi yaitu dirumah dan orang tua panen keluhan membelajarkan sang buah hati menjadi pertanyaan bagaimanakah motif menitipkan sang anak di sekolah swasta bersangkutan.
Kisah pembuka artikel diatas bukanlah kisah sinetron picisan namun pada kenyataannya masiing-masing sekolah swasta melakukan proses pembelajaran dengan beragam rupa agar anak terlayani dengan optimal.
Memanfaatkan jaringan internet, komunikasi digital tentunya tidak semudah menulis status maha galau semua
membutuhkan proses dan hal ini menjadi tuntutan yang diberikan.
Konsekuensi ekonomis pun merebak, pembuatan konten digital di negeri ini masih menjadi barang mewah dan gurupun masih tergangtung pada kapasitas penyelenggara sekolah swasta.
Peran inilah yang sangat juga memerlukan sumber daya purwarupa dengan pola ini SPP dibutuhkan sebagai amunisi.
Keberadaan SPP pada penyelenggaraan sekolah swasta merupakan solusi konrit agar pembelajaran terus
berlangsung.
Mempertanyakan penggunaan SPP secara membabi buta menjadi persoalan dan harus dicarikan solusi memadai agar dampak pendemi ini tidak merusak harmoni edukasi.
Lantas bagaimana mengelola SPP pada sekolah swasta agar tetap lestari
Saatnya Wujudkan keberpihakan sekolah swasta merupakan pokok persoalan menyeselesaikan carut marut pembiayaan ini.
Momentum Pendemi ini menjadi ujian pengelola negeri agar edukasi terus lestari.
Ketika sekolah swasta dihantam permaslahan SPP selayaknya penyelenggara pendidikan melakukan tindakan konkrit bukannya pengalihan isu.
Keberpihakan penylenggara pendidikan dapat dilakukan dengan peneguhan alokasi dana anggaran pendidikan agar lebih diprioritaskan bagi penyelamatan pendidikan swasta.
Pendanaan sekolah swasta sebenarnya selama ini terdapat dana BOS ( bantuan operasional sekolah ) untuk mendukungnya, namun dalam pemafaatannya tidak boleh diperuntukkan gaji.
Penyelamatan sekolah swasta dengan penertiban SPP dapat dimulai dari sini, SPP dihitung ulang namun gaji guru jangan dihutang.
Penerbitan kebijakan ini sedemikian besar dan menunjukkan keberpihakan pendidikan tanpa pandang bulu, persepsi ini selayaknya patut disegerakan mengingat sekolah swasta sudah menampung beragam keluhan keuangan yang berpotensi membobol nalar pendidikan.
Langkah selanjutnya pengembangan sikap Rasionalitas pendidikan harus dikedepankan, selama ini Orang tua sekedar melihat toh kegiatan libur mengapa masih SPP.
Rasionalitas pendidikan dapat dimulai bahwa Pengelolaan SPP itu tercantum dalam RAKS selama satu tahun dan ibarat piutang bagi siswa.
Tanpa disadari sekolah menalangi dahulu kebutuhan siswa selama ini seperti Buku, LKS maupun kegiatan yang akan dibayrkan siswa selama satu tahun ajarn. Teknisnya sekolah menghitung lantas melakukan fasilitasi kegiatan.
Pola selama ini dianggap tambal sulam disebabkan marwah sekolah yang tidak seperti taman hiburan siapa membayar dia dapat bermain.
Persepsi yang dibuang orang tua adalah jangan merasa sudah membayar selesai masalah, logikanya bagaimana dengan fasilitas pembelajaran lainnya.
Tidak kalah pentingnya Penghindaran gengsiisme juga patut menjadi dukungan dalam memecahkan persoalan pokok pembiayaan pendidikan ini, penyelenggaraan pendidikan adalah pemberdayaan dalam kesetaraan sehingga patut disadarkan bagi orang tua bahwa pendidikan bukanklah ajang adu gengsi.
Logikanya jika mengalami permasalahan keuangan dan belum mampu menyelaiskan permasalahan pembayaran selayaknya janganlah berkoar-koar menebarkan sekolah swasta dengan beragam fitnah.
Teramat elegan jika mengetahui ketidakmampuan pendidikan segera mengurus mekanisme perbaikan dengan menghadap langsung pada sekolah bersangkutan.
Seandainya orangtua menjadi miskin gegara pendemi teramat bijaksana jika segera urus blangko penunjang yang menyatakan kondisi riil yang dihadapi.
Mengurus surat keterangan benar-benar miskin dengan penuh elegan teramat dibutuhkan dindingkan sambil rebahan menebarkan ancaman pada sekolah swasta dimana sang anak bersekolah.
Pasca pendemi selayaknya menjadi masa merefleksikan diri dalam menjalankan edukasi, Jika memilih sekolah swasta sebab alasan idealisme baik agama atau jaminan mutu sekolah swasta tersebut, maka disaat ini idealisme itu diuji.
Peneguhan idealisme ini layaknya romatisme cinta tidak terhalang usia.
Cinta butuh pengorbanan, maka saat pendemi tiba tunjukkan semangat berkorban wahai sang pencinta.(*)
| OPINI: Dosen Swasta Masih Jadi Kelas Dua dalam Pendidikan Tinggi Indonesia? |
|
|---|
| Darurat KDRT dan Kekerasan Remaja, Cermin Retaknya Sistem Kehidupan Sekular |
|
|---|
| Kesaktian Pancasila: Menyatukan Bangsa Lawan Darurat Hipertensi dan Diabetes |
|
|---|
| Bahasa Inggris: Tiket Masuk Dunia Global bagi Generasi Muda Indonesia |
|
|---|
| Bus Trans Palu: Ketika Roda Tak Berputar, Uang Rakyat Jangan Terus Dialirkan |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/palu/foto/bank/originals/Mukhlis-Mustofa.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.