OPINI

OPINI: Dosen Swasta Masih Jadi Kelas Dua dalam Pendidikan Tinggi Indonesia?

Realitas sosial-birokratis menunjukkan ketimpangan yang kian melebar antara dosen Aparatur Sipil Negara (ASN) dan dosen swasta.

|
Editor: Fadhila Amalia
Handover
Peneliti CITA, Ruben Cornelius Siagian. 

Ruben Cornelius Siagian

Peneliti CITA

TRIBUNPALU.COM - Sistem pendidikan tinggi di Indonesia sejatinya dibangun atas asas kesetaraan, meritokrasi, dan pemerataan kesempatan.

Namun, realitas sosial-birokratis menunjukkan ketimpangan yang kian melebar antara dosen Aparatur Sipil Negara (ASN) dan dosen swasta.

Walaupun keduanya menjalankan tanggung jawab dan tridarma yang sama, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian, namun penghargaan dan jaminan kesejahteraan yang mereka terima sangat timpang.

Baca juga: 10 Kode Redeem FF Free Fire Jumat 7 November 2025, Klaim Item Gratis Sebelum Kadaluarsa

Penelitian lapangan dan wawancara mendalam yang dilakukan oleh kami di tiga provinsi, antara lain Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Riau telah menunjukkan bahwa struktur regulasi dan kebijakan negara masih cenderung berpihak pada dosen ASN, sementara dosen swasta diperlakukan sebagai pelengkap sistem pendidikan tinggi, bukan sebagai mitra sejajar.

Sertifikasi Sama, Penghargaan Tidak Sama

Baik dosen ASN maupun dosen swasta diwajibkan mengikuti sertifikasi dosen (serdos) sebagai bukti profesionalitas dan kompetensi akademik.

Namun, pengakuan formal ini tidak diikuti oleh kesetaraan dalam penghargaan finansial dan karier. 

Rancangan Peraturan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Nomor 23 Tahun 2025 mempertegas kesenjangan tersebut.

Baca juga: ASN Pemkot Palu Selesaikan Program Magang Nasional, Siap Terapkan Ilmu di Daerah

Regulasi ini memberikan tunjangan kinerja (Tukin) bagi ASN di lingkungan kementerian, tetapi tidak mencakup dosen swasta yang memiliki status kepegawaian di bawah yayasan.

“Ini menunjukkan bahwa negara masih mengukur profesionalitas dosen berdasarkan status administratif,
bukan kontribusi akademik,” ujar Ruben Cornelius Siagian, peneliti CITA.

“Padahal, jika kinerja dan beban tridarma menjadi dasar, seharusnya tunjangan berbasis capaian, bukan status ASN atau non- ASN.”

Meritokrasi dan Keadilan Distributif

Dalam perspektif teori meritokrasi yang dijelaskan pada artikel penelitian yang ditulis oleh Mijs, J. J. (2016) dan keadilan distributif yang ditulis oleh Mishchuk, H., Samoliuk, N., & Bilan, Y. (2019),keadilan sosial tidak  dapat diukur semata dari status struktural, tetapi dari distribusi manfaat berdasarkan kontribusi dan kebutuhan.

Baca juga: Syarifudin Hafid Dorong Sinergi Pemerintah dan Nelayan di Raker Teknis Perikanan Morowali

Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved