Parigi Moutong Hari Ini

Sumadi, Guru SLBN Parigi yang Mengabdi dengan Hati untuk Anak Berkebutuhan Khusus

Menurutnya, pekerjaan guru adalah mulia. Mengajar anak berkebutuhan khusus membutuhkan kesabaran ekstra, metode khusus, dan ketekunan tinggi.

Penulis: Abdul Humul Faaiz | Editor: Regina Goldie
FAAIZ / TRIBUNPALU.COM
Sumadi, guru di Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) Parigi, Kabupaten Parigi Moutong (Parimo), Sulawesi Tengah menceritakan suka-duka mendidik anak-anak berkebutuhan khusus setiap hari. 

Laporan Wartawan TribunPalu.com, Abdul Humul Faaiz

TRIBUNPALU.COM, PARIMO – Sumadi, guru di Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) Parigi, Kabupaten Parigi Moutong (Parimo), Sulawesi Tengah menceritakan suka-duka mendidik anak-anak berkebutuhan khusus setiap hari.

Menurutnya, pekerjaan guru adalah mulia. Mengajar anak berkebutuhan khusus membutuhkan kesabaran ekstra, metode khusus, dan ketekunan tinggi.

“Kami bersyukur pemerintah daerah memperhatikan anak-anak berkebutuhan khusus. Meski keterbatasan, mereka tetap bisa maju dan raih cita-cita,” ujar Sumadi.

Ia menjelaskan, kondisi pendidikan di SLB berbeda dengan sekolah reguler. Penyesuaian dilakukan berdasarkan kemampuan masing-masing anak.

Contohnya, untuk anak tunagrahita, ada tiga kategori, yaitu ringan, sedang, dan berat. Setiap kategori membutuhkan pendekatan berbeda.

Baca juga: Fathur Razaq Anwar Terpilih Aklamasi Sebagai Ketua KONI Sulteng Periode 2025-2029

Anak ringan dapat diajar dan dilatih. Anak sedang dan berat lebih difokuskan pada kemampuan melatih diri sendiri.

“Kalau kita terlalu menuntut lebih, anak bisa merasa terbebani dan enggan ke sekolah lagi,” ungkap Sumadi.

Ia menambahkan, kehadiran anak di sekolah sudah menjadi modal besar bagi guru, apalagi mereka mau belajar dan berinteraksi.

Selain itu, guru harus menyesuaikan metode belajar. Anak memilih guru yang nyaman bagi mereka, kadang menolak guru jenjang lebih tinggi.

Baca juga: DSLNG Raih Tujuh Penghargaan EPSA 2025 atas Inovasi untuk Lingkungan dan Keberlanjutan

“Kami mengikuti kenyamanan anak. Jika mereka ingin belajar dengan guru SD, meski jenjangnya SMP, kami hargai,” jelasnya.

Sumadi menekankan, metode pembelajaran di SLB disesuaikan tiap jenis kebutuhan khusus, seperti tunagrahita, tunanetra, tunadaksa, autis, dan lain-lain.

Meski banyak tantangan, siswa SLB kerap mengukir prestasi. Beberapa pernah menjuarai lomba olahraga, seni, hingga desain tingkat nasional.

“Anak autis pernah mewakili Sulawesi Tengah di lomba desain Travis di Bandung,” katanya bangga.

Siswa tunadaksa pun pernah menjadi juara bulutangkis mewakili Sulawesi Tengah hingga Jakarta.

Sumadi mengingat, ada juga prestasi kreasi barang bekas, mikro, dan seni lainnya yang membuat siswa SLB dikenal.

Stigma masyarakat terhadap SLB masih ada. Banyak yang menyebutnya “sekolah orang gila” atau tempat anak bermasalah.

Baca juga: Wagub Sulteng Nikmati Panorama di Teluk Palu, Singgung Tambang Ilegal dan Illegal Fishing

“Dengan kegiatan sekolah, masyarakat mulai mengenal kemampuan anak-anak SLB. Mereka mampu berkreasi seperti anak reguler,” tutur Sumadi.

Dukungan pemerintah daerah diapresiasi guru. Pejabat hadir menyerahkan hadiah bagi semua anak tanpa diskriminasi.

“Hadiah diberikan merata, baik bagi anak berprestasi maupun tidak, tanpa memandang keterbatasan mereka,” ujarnya.

Namun fasilitas sekolah masih minim. Guru berharap ada ruang terapi autis, alat bantu dengar, dan kursi roda bagi anak tunadaksa.

“Kami butuh kursi roda. Banyak anak tunadaksa jarang ke sekolah karena kesulitan bergerak,” kata Sumadi.

Jumlah siswa SLB tidak tetap. Kehadiran bergantung kondisi fisik dan mental masing-masing.

“Kontrol kehadiran anak penting, bahkan saat mereka bermain di luar hujan,” ungkapnya.

Sistem pendidikan saat ini masih menyesuaikan kurikulum reguler. Anak SLB tetap dituntut literasi dan numerasi.

Baca juga: DPRD Kota Palu Gelar RDP Bahas Pengaduan Tambang Galian C di Taipa

“Selama ini kami menyesuaikan, tapi anak berkebutuhan khusus membutuhkan pendidikan yang benar-benar berbeda,” ujarnya.

Pelatihan guru kurang spesifik. Workshop umumnya berfokus pada pendidikan reguler, bukan kebutuhan anak khusus.

“Menyesuaikan reguler itu tidak mudah, karena pola pikir dan kemampuan anak berbeda-beda,” tambah Sumadi.

Meski demikian, guru tetap ikhlas mengabdi. Mengajar anak berkebutuhan khusus dianggap sebagai panggilan hidup.

“Anak berkebutuhan khusus itu anak yang pandai balas kasih. Sekali kita berbuat baik, mereka akan mengingat selamanya,” ujarnya haru.

Hal itu membuat guru termotivasi menghadapi stigma, keterbatasan fasilitas, dan tantangan sehari-hari.

Sumadi menekankan, setiap murid punya potensi unik yang harus digali dan dikembangkan.

“Kerja sama dengan orang tua sangat penting, terutama untuk anak autis. Terapi manual dan kontak mata di rumah mendukung kemajuan mereka,” jelasnya.

Ia mengapresiasi orang tua yang memahami kesulitan guru dan mendukung pembelajaran di rumah.

Anak-anak SLB perlu sering ditampilkan dalam kegiatan. Hal itu membuat mereka merasa setara dengan anak reguler.

Baca juga: Dana Pelimpahan Kecamatan di Banggai Turun Jadi Rp2,7 Miliar

“Tidak boleh dikecilkan, harus dilibatkan supaya percaya diri dan merasa bagian dari masyarakat,” kata Sumadi.

Guru SLB ini juga menyoroti keterbatasan jumlah SLB. Di Parigi Moutong, hanya ada dua SLB, satu negeri di Desa Bambalemo.

Ia berharap ke depan pendidikan SLB lebih diperhatikan, dengan fasilitas memadai dan metode khusus yang sesuai kebutuhan anak.

“Harapan saya, kondisi sudah baik sekarang, semoga ke depan lebih baik lagi,” tutup Sumadi.

Sumadi percaya, meski penuh tantangan, kegigihan guru akan terus menginspirasi anak-anak berkebutuhan khusus untuk maju.

Dengan dedikasi guru, stigma perlahan terhapus, prestasi siswa meningkat, dan anak-anak SLB semakin percaya diri menghadapi masa depan.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved