OPINI

Darurat KDRT dan Kekerasan Remaja, Cermin Retaknya Sistem Kehidupan Sekular

Dalam sistem ini, agama dibiarkan terbatas pada urusan ritual, sementara urusan sosial, pendidikan, ekonomi, dan politik dikendalikan logika duniawi.

Editor: Fadhila Amalia
Handover
OPINI - Di tengah hiruk pikuk modernitas dan gemerlap kemajuan teknologi, bangsa ini justru dihadapkan pada kenyataan yang getir, yakni meningkatnya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan meledaknya kasus kekerasan yang dilakukan oleh remaja. 

Oleh: Nur Indah Ulfanny, S.Pd.Gr

Pendidik dan Pemerhati Generasi

TRIBUNPALU.COM - Di tengah hiruk pikuk modernitas dan gemerlap kemajuan teknologi, bangsa ini justru
dihadapkan pada kenyataan yang getir, yakni meningkatnya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan meledaknya kasus kekerasan yang dilakukan oleh remaja.

Dua gejala sosial ini bukan sekadar fenomena individual, melainkan tanda-tanda nyata rapuhnya pondasi keluarga dan tergerusnya nilai-nilai moral yang seharusnya menjadi penopang peradaban.

Berita tentang seorang suami yang tega membakar istrinya di Malang, seorang remaja membacok neneknya karena ejekan, hingga kasus pelajar SMP yang meninggal akibat dikeroyok teman sendiri, semuanya menunjukkan bahwa krisis ini telah menembus batas akal sehat.

Fakta-fakta tersebut bukan hanya tragedi kemanusiaan, tetapi juga alarm keras bagi seluruh komponen bangsa bahwa sistem kehidupan yang berjalan saat ini telah gagal menjaga fitrah manusia.

Sekularisme dan Hilangnya Ketakwaan dalam Rumah Tangga

Akar dari semua kekacauan moral ini tidak bisa dilepaskan dari ideologi sekularisme, yaitu pandangan hidup yang memisahkan agama dari kehidupan publik.

Dalam sistem ini, agama dibiarkan terbatas pada urusan ritual, sementara urusan sosial, pendidikan, ekonomi, dan politik dikendalikan oleh logika duniawi.

Akibatnya, keluarga tidak lagi dibangun di atas landasan takwa, melainkan pada ukuran material dan kepentingan pribadi.

Ketika nilai ketuhanan tersingkir dari rumah tangga, maka suami dan istri kehilangan arah dalam menjalankan peran mereka.

Suami yang seharusnya menjadi pemimpin dan pelindung justru bisa berubah menjadi penguasa yang menindas.

Istri yang seharusnya menjadi penyejuk dan penopang justru terjebak dalam tekanan emosional tanpa pegangan spiritual.

Anak-anak yang tumbuh di tengah suasana seperti itu kehilangan teladan, lalu mencari makna hidup di dunia luar yang justru dipenuhi kebebasan tanpa kendali.

Inilah salah satu dampak nyata dari pendidikan sekuler-liberal yang menjauhkan generasi muda dari nilai-nilai akhlak.

Mereka tumbuh dalam sistem yang menanamkan kebebasan tanpa batas, menganggap segala sesuatu boleh dilakukan selama menyenangkan diri sendiri.

Padahal, kebebasan yang tidak dibingkai dengan moral akan melahirkan kekacauan dan
kekerasan.

Materialisme dan Krisis Keluarga

Selain sekularisme, materialisme menjadi racun sosial yang tak kalah berbahaya. Ukuran kebahagiaan kini ditentukan oleh harta, jabatan, dan gaya hidup.

Tekanan ekonomi, tuntutan sosial, dan kecemburuan duniawi sering kali menjadi pemicu pertengkaran dan kekerasan di rumah tangga. 

Banyak keluarga terjebak dalam pola pikir bahwa kebahagiaan bisa dibeli, padahal yang mereka ciptakan hanyalah kehampaan emosional.

Ketika spiritualitas hilang dan dunia menjadi orientasi tunggal, maka kekerasan mudah meletup bahkan untuk hal-hal kecil.

Suami yang stres karena pekerjaan melampiaskan amarahnya pada istri dan anak. Remaja yang merasa tidak diterima di rumah mencari validasi di jalanan, bergabung dengan kelompok yang menormalisasi kekerasan.

Semua ini menunjukkan bahwa materialisme tidak hanya mencabut nilai kasih, tetapi juga menghancurkan struktur sosial terkecil dalam keluarga.

Kegagalan Negara dan Kemandulan Sistem Hukum

Dalam situasi ini, negara seharusnya hadir sebagai pelindung sejati rakyatnya.

Namun, realitasnya menunjukkan hal sebaliknya. Hukkam, yaitu para penguasa yang memegang amanah untuk menjaga keadilan, justru sering kali gagal memahami akar persoalan.

Undang- Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), misalnya, memang ada, tetapi implementasinya terbatas pada penindakan hukum semata.

Ia tidak menyentuh akar penyakit yang sebenarnya, yaitu lemahnya pendidikan moral, rusaknya sistem ekonomi, dan hilangnya peran agama dalam membangun karakter bangsa.

Sistem hukum yang lahir dari paradigma sekular tidak mampu menyembuhkan luka sosial yang bersumber dari nilai yang rusak.

Ia hanya memadamkan api tanpa memutus sumber bahan bakarnya.

Selama keluarga masih hidup dalam tekanan ekonomi, selama pendidikan masih menanamkan kebebasan tanpa arah, dan selama negara masih meminggirkan agama dari kebijakan publik, maka kekerasan akan terus berulang.

Kita menyaksikan bagaimana sistem ini hanya mampu menindak pelaku setelah kejadian, tetapi tidak mencegah terjadinya kekerasan sejak awal.

Padahal, dalam Islam mabda, negara bukan sekadar pengatur administratif, melainkan raa’in, pelindung dan pengurus rakyat.

Tugasnya bukan hanya menghukum, tetapi memastikan kesejahteraan, keadilan, dan pembinaan moral berjalan harmonis di bawah tuntunan syariah.

Solusi Islam 

Islam tidak memandang keluarga sekadar hubungan biologis, melainkan institusi spiritual dan sosial yang dibangun di atas ketakwaan.

Dalam Islam, suami diposisikan sebagai qawwam, pemimpin yang melindungi, bukan menindas.

Istri dihormati sebagai mitra dalam ketaatan, bukan bawahan yang harus tunduk tanpa hak. 

Anak-anak dididik bukan hanya agar pandai secara intelektual, tetapi juga berakhlak dan bertanggung jawab di hadapan Allah.

Pendidikan dalam pandangan Islam bukan sekadar transfer ilmu, tetapi pembentukan kepribadian bertakwa. Inilah yang membedakan antara sistem pendidikan Islam dengan pendidikan sekuler-liberal.

Pendidikan Islam menumbuhkan rasa malu, empati, dan tanggung jawab sosial, tiga hal yang kini semakin langka di tengah arus kebebasan.

Selain itu, sistem ekonomi Islam menutup celah yang menjadi penyebab kekerasan rumah tangga.

Dalam sistem ini, hukkam berkewajiban memastikan setiap keluarga memiliki akses terhadap kebutuhan dasar pangan, sandang, papan, dan pekerjaan yang layak.

Tidak ada ruang bagi ketimpangan ekstrem yang membuat satu pihak tertekan sementara pihak lain
hidup berlebihan.

Ketika keadilan ekonomi ditegakkan, tekanan psikologis akibat kemiskinan akan berkurang, dan harmoni keluarga dapat dipulihkan.

Sementara itu, sistem sanksi dalam Islam tidak hanya bersifat represif, tetapi juga edukatif.

Hukuman diberikan untuk menegakkan keadilan sekaligus mendidik masyarakat agar menjauhi kejahatan. Inilah perbedaan mendasar dengan sistem hukum sekular yang sering kali tumpul ke atas dan tajam ke bawah.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved