Tanggapan Tokoh soal Hukuman Mati Bagi Koruptor, Komnas HAM: Kita Menolak, Bukan Nyawa Dibalas Nyawa
Berikut tanggapan sejumlah tokoh terkait pernyataan Presiden Joko Widodo soal 'hukuman mati bagi para koruptor'.
Menurut Taufan, penerapan hukuman mati tidak berkorelasi dengan penurunan tindak pidana atau kejahatan luar biasa.
"Komnas HAM tidak pernah berubah sikapnya, kita menolak hukuman mati," kata Taufan seusai Seminar Nasional '20 Tahun UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM: Refleksi dan Proyeksi' di DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (10/12/2019).
"Paling tinggi kaitannya bagaimana kita bisa membangun peradaban. Dari sisi pragmatis juga tidak ada bukti statistik bahwa hukuman mati mengurangi tingkat tindak pidana extraordinary crime. Dan itu di seluruh dunia," tambahnya.
Taufan mengatakan, beberapa kali Komnas HAM mengikuti konferensi internasional yang membahas soal penerapan hukuman mati.
Dalam konferensi tersebut, sejumlah peserta mengkampanyekan penghapusan hukuman mati.
Selain itu, kata Taufan, mereka juga memaparkan data statistik terkait penerapan hukuman mati dan jumlah tindak pidana.
Ia menegaskan bahwa dari data tersebut tidak ditemukan korelasi bahwa penerapan hukuman mati dapat menurunkan angka kriminalitas.
"Komnas HAM beberapa kali ikut konferensi internasional, mereka kampanye soal menolak hukuman mati, dan mereka buka statistik secara global kalau nggak ada hubungannya," kata Taufan.
"Kita ajak semua pihak agar bisa membangun nilai peradaban yang lebih tinggi. Bukan kalau ada orang bersalah kita jadi balas dendam, nyawa dibalas nyawa," tutur dia.
4. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) Saut Situmorang menilai wacana hukuman mati ke koruptor merupakan cerita lama yang kerap diungkit.
Saut menegaskan, seharusnya wacana itu tak perlu dikembangkan lagi. Ia menyatakan masih banyak pekerjaan rumah yang lebih substansial untuk diselesaikan dalam pemberantasan korupsi.
Hal itu menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebutkan aturan hukuman mati untuk koruptor bisa saja diterapkan jika memang ada kehendak yang kuat dari masyarakat.
"Ya sebenarnya itu kan cerita lama. Itu kan juga sudah ada di Pasal 2 (dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi)," kata Saut di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi, Jakarta, Selasa (10/12/2019).
Dalam UU Tipikor, Pasal 2 terdiri dari dua ayat. Ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
"Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)"
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/palu/foto/bank/originals/ilustrasi-hukuman-mati.jpg)