Novel Baswedan Jadi Saksi di Sidang Gugatan UU KPK, Sebut Ada Potensi Barang Bukti Hilang
Rentang waktu yang panjang saat menunggu izin Dewan Pengawas KPK untuk menyita barbuk, kata dia membuat potensi barang bukti hilang jadi terbuka lebar
Sebab ketika proses penyitaan dilakukan di luar daerah, maka mengharuskan penyidik bolak-balik demi mengajukan izin kepada Dewas KPK.
Ketentuan dalam UU KPK hasil revisi berbeda dengan UU KPK lama yakni UU Nomor 30 Tahun 2002.
Dalam UU KPK sebelum revisi, penyidik bisa menyita barang bukti tanpa izin.
Penyitaan juga bisa dilakukan dengan izin pengadilan atau perizinan bisa dilakukan menyusul setelah barang disita terlebih dahulu.
"Dalam UU sebelumnya, KPK bisa menyita tanpa izin. Sedangkan dalam KUHP, diatur yang berlaku umum bisa dilakukan dengan izin pengadilan ataupun tanpa izin setelah itu minta persetujuan," pungkas Novel.
• Jaksa Fredrik Adhar Syaripuddin Meninggal Dunia, Novel Baswedan Sampaikan Duka Cita
• Novel Baswedan: Indonesia Benar-benar Berbahaya bagi Orang yang Memberantas Korupsi
• Wawancara Eksklusif dengan Novel Baswedan: Pelaku Sebenarnya Pasti Gemetaran karena Saya Tidak Takut
Potensi Kebocoran Kasus Jadi Lebih Tinggi
Penyidik Senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan menyebut Undang-Undang Nomor 19/2019 tentang KPK membuat potensi kebocoran kasus jadi lebih tinggi.
Hal itu terjadi lantaran adanya penambahan birokrasi dalam UU KPK hasil revisi.
Penambahan birokrasi yang dimaksud yakni pada kewajiban meminta izin kepada Dewan Pengawas KPK jika penyidik mau melakukan penyadapan, penggeledahan maupun saat melakukan operasi tangkap tangan (OTT).
Apalagi izin Dewas, kata dia, umumnya baru terbit satu hingga dua hari kemudian.
Hal itu disampaikan Novel kepada Majelis Konstitusi dalam sidang uji formil dan materiil Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, untuk perkara nomor 70/PUU-XVII/2019 pada Rabu (23/9/2020).
"Proses yang terlalu panjang akan menghambat kecepatan KPK merespons cepat dan kedap. Kata - kata kedap ini kaitannya dengan kebocoran. Keberhasilan tindakan tentu ketika KPK melakukan dengan proses tidak bocor, karena proses yang bocor membuat keadaan berubah. Orang yang akan ditangkap atau alat bukti akan menjadi hilang," kata Novel dalam sidang.
Padahal, kata Novel, dalam UU KPK yang lama dengan proses tanpa perizinan saja sudah terjadi kebocoran informasi. Dalam UU KPK hasil revisi, birokrasi terkait hal itu justru ditambahkan lagi. Sehingga berdampak pada risiko kebocoran yang makin tinggi pula.
"Proses yang panjang berpotensi kebocoran menjadi lebih tinggi. Padahal birokrasi yang tidak terlalu panjang pun sudah terjadi, apalagi jika menambah birokrasi. Risiko kebocoran menjadi semakin tinggi," tuturnya.
Menurutnya kebocoran yang terpublikasi bukan saja bisa menggagalkan sebuah operasi, tapi juga mengancam keselamatan petugas di lapangan.