Kisah Ustad Yahya Waloni Ngontrak Rumah di Tolitoli Sulteng, Dipandu 2 Sosok Ulama Jadi Mualaf
Sulawesi Tengah erat kaitannya dengan perjalanan spritual Ustad Yahya Waloni.
TRIBUNPALU.COM - Ustad Yahya Waloni meninggal dunia saat khutbah Jumat di Masjid Darul Falah, Kota Makassar, Jumat (6/6/2025).
Ustad Yahya Waloni tutup usia 55 tahun.
Kepergian Yahya Waloni itu menimbulkan kesedihan mendalam bagi keluarga, termasuk warga Sulawesi Tengah.
Sulawesi Tengah erat kaitannya dengan perjalanan spritual Ustad Yahya Waloni.
Pasalnya, pria kelahiran 30 November 1970 itu mengucapkan ikrar masuk Islam di Sulawesi Tengah, tepatnya di Kabupaten Tolitoli.
Ada dua sosok yang sangat berpengaruh dalam perjalanan Ustad Yahya Waloni dan istrinya Muthmainah masuk Islam.
Baca juga: Ucap Ikrar Masuk Islam di Tolitoli, Ustad Yahya Waloni Meninggal Usai Khatib Jumat di Makassar
Keduanya adalah Ketua MUI Tolitoli Yusuf Yamani dan Sekretaris MUI Tolitoli Komarudin Sofa.
Keduanya membimbing Ustad Yahya Waloni hingga menjadi mualaf.
Ustad Yahya Waloni bersama istri dan tiga anaknya hanya tinggal di rumah kontrakan sederhana saat berada di Kabupaten Tolitoli.
Rumah kontrakan senilai Rp 2,5 juta itu berada di Jl Bangau, Kelurahan Tuweley, Kelurahan Baru, Kabupaten Tolitoli.
Yahya bersama istrinya memeluk Islam secara sah pada hari Rabu, 11 Oktober 2006 pukul 12.00 Wita melalui tuntunan Komarudin Sofa.
Setelah memeluk Islam, pria bernama lengkap Yahya Yopie Waloni berganti Muhammad Yahya Waloni.
Sementara istrinya bernama Lusiana berganti menjadi Mutmainnah.
Begitupun ketiga anaknya.
Putri tertuanya Silvana berganti nama Nur Hidayah, Sarah menjadi Siti Sarah, dan putra bungsunya Zakaria tetap menggunakan nama itu.
Mohammad Yahya sebelum memeluk Islam, pernah menjabat Ketua Sekolah Tinggi Theologia Calvinis di Sorong tahun 2000-2004.
Saat itu juga ia sebagai pendeta dengan status sebagai pelayan umum dan terdaftar pada Badan Pengelola Am Sinode GKI di tanah Papua, Wilayah VI Sorong-Kaimana.
Ia menetap di Sorong sejak tahun 1997.
Tahun 2004, Ustad Yahya Waloni kemudian pindah ke Balikpapan.
Di sana ia menjadi dosen di Universitas Balikpapan (Uniba) sampai tahun 2006.
Yahya menginjakkan kaki di Kota Cengkeh, Tolitoli, tanggal 16 Agustus 2006.
Sejak tinggal di Tolitoli, Ustad Yahya Waloni sering dikunjungi warga.
Bahkan tenda berdiri di depan kosannya karena banyaknya warga berdatangan.
Ada yang datang membawa sumbangan, ada pula hanya sekadar bercengkerama.
Sumbangan diberikan berupa belanga, kompor, kasur, televisi, Alquran, gorden dan kursi.
Mereka bersimpati karena Ustad Yahya Waloni sekeluarga karena hanya pindah dari tempat tinggal pertamanya dengan pakaian di badan.
Rumah yang ditempati sebelumnya di Kelurahan Panasakan adalah fasilitas yang diperoleh atas bantuan gereja sehingga ditinggalkan semua.
Selain kedua ulama MUI Tolitoli, ada juga seorang perempuan yang sangat berpengaruh dalam kehidupan Ustad Waloni dan keluarga.
Yaitu Hj Nurdiana, pegawai Balitbang Diklat Pemkab Tolitoli,
Hj Nurdiana adalah guru mengaji istri Ustad Waloni Yahya.
Selain belajar mengaji dan menerima tamu, Ustad Yahya Waloni juga kerap menghadiri undangan di beberapa masjid Tolitoli.
Tidak hanya dalam kota, tetapi sampai ke desa-desa di Kabupaten Tolitoli.
Pria kelahiran Manado itu merupakan bungsu dari tujuh bersaudara.
Dia lahir dari kalangan terdidik dan disiplin.
Ayahnya seorang pensiunan tentara juga mantan anggota DPRD di daerah Sulawesi Utara.
Baca juga: Sosok Istri Ustad Yahya Waloni, Ikuti Jejak Suami Jadi Mualaf
Kerasnya kehidupan Ustad Yahya Waloni sebelum menjadi muallaf terlihat di tubuhnya.
Terdapat beberapa bekas luka setrika yang menghapus tato di beberapa bagian tubuh Ustad Yahya Waloni.
Meski pernah nakal, tetapi pendidikan formalnya sampai ke tingkat doktor.
Ia menyandang gelar doktor teologi jurusan filsafat.
Jebolan Institut Theologia Oikumene Imanuel Manado itu menjadapat titel doktor 10 Januari 2004.
Bertemu Penjual Ikan dan Lailatulkadar
Beberapa hari sebelum masuk Islam, Yahya Waloni mengaku sempat bertemu seorang penjual ikan, di rumah lamanya, kompleks Tanah Abang, Kelurahan Panasakan, Tolitoli.
Pertemuannya dengan si penjual ikan berlangsung tiga kali berturut-turut di bulan Ramadhan.
Dan anehnya lagi, jam pertemuannya dengan si penjual ikan itu tidak pernah meleset dari pukul 09.45 Wita.
Penjual ikan yang diketahui Ustad Yahya Waloni bernama Sappo.
Sappo dalam bahasa Bugis berarti sepupu.
Setiap kali ketemu dengan si penjual ikan itu, Yahya Waloni mengaku berdialog panjang soal Islam.
Meski tidak lulusSD, Sappo mahir dalam menceritakan soal Islam.
Sampai saat ini Yahya mengaku tidak pernah lagi bertemu dengan penjual ikan itu.
Si penjual ikan mengaku dari Dusun Doyan, Desa Sandana, Tolitoli.
Meski sudah beberapa orang yang mencarinya hingga ke Doyan, dengan ciri-ciri yang dijelaskan Yahya, tapi si penjual ikan itu tetap tidak ditemukan.
Baca juga: Timnas Indonesia Dapat Hadiah Jam Tangan Rolex dari Presiden Prabowo, Harganya Bikin Gigit Jari
Sejak pertemuannya dengan si penjual ikan itulah Ustad Yahya Maulana sempat berseteru dengan istri.
Istrinya ngotot untuk tidak memeluk Islam.
Ia tetap bertahan pada agama yang dianut sebelumnya.
Tidak lama setelah itu, tepatnya 17 Ramadan 1427 Hijriah atau tanggal 10 Oktober sekitar pukul 23.00 Wita, Ia antara sadar dengan tidak, bermimpi tentang pertemuan dengan seseorang yang berpakaian serba putih, duduk di atas kursi.
Sementara Yahya di lantai dengan posisi duduk bersila dan berhadap-hadapan dengan seseorang yang berpakaian serba putih itu.
Menurut Yahya orang itu bernama Lailatulkadar.
Setelah bercakap dengan Lailatulkadar, Yahya kemudian berpindah di satu tempat yang tidak pernah dilihatnya.
Di tempat itulah, Yahya menengadah ke atas dan melihat ada pintu buka-tutup.
Tidak lama berselang, dua perempuan masuk ke dalam.
Perempuan yang pertama masuk, tanpa hambatan apa-apa.
Namun perempuan yang kedua, tersengat api panas.
Setelah saya sadar dari mimpi itu, seluruh badannya berkeringat. Dia jatuh sakit
Sekitar dua jam dari peristiwa itu, di sebelah kamar, dia mendengar suara tangisan.
Orang itu menangis terus seperti layaknya anak kecil.
Yahya yang masih dalam kondisi panas-dingin, menghampiri suara tangisan itu.
Ternyata, yang menangis itu adalah istrinya, Mutmainnah.
Baca juga: Puluhan JCH Asal Sulteng Tidur di Tak Dapat Tenda di Arafah, Begini Tanggapan Kemenag
Setelah mendekat, sang istri memeluk Ustad Yahya Waloni.
Ternyata tangisan istri Yahya itu mengandung arti yang luar biasa.
Ia menangis karena mimpi yang diceritakan suaminya kepadanya, sama dengan apa yang dimimpikan Mutmainnah.
Setelah itulah Ustad Yahya Waloni dan istri memutuskan masuk Islam.(*)
Kepsek dan Haerana Berdamai, Disdik Sulteng Kumpul Guru SMAN 5 Palu |
![]() |
---|
Tekan Inflasi, Pemkab Banggai Bakal Pasok Bawang Merah dari Enrekang |
![]() |
---|
Legislator PDIP Matindas J Rumambi Desak Evaluasi Pelaksanaan MBG |
![]() |
---|
Tim Asesor LAMEMBA Lakukan Asesmen di Magister Manajemen Unismuh Luwuk |
![]() |
---|
Gubernur Sulteng Dukung Program “Satu Harga” Sekda Parigi Moutong |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.