OPINI
Mengapa Generasi Kini Mudah Patah?
Fenomena ini tidak hanya terjadi di negara-negara Barat, tetapi juga merata di kawasan Asia, termasuk Indonesia.
Oleh: Nur Indah Ulfanny, S.Pd.Gr
Pendidik dan Pemerhati Generasi
TRIBUNPALU.COM - Dunia modern tengah menghadapi krisis senyap yang semakin menelan banyak korban, yakni krisis kesehatan mental.
Di tengah kemajuan teknologi, konektivitas digital, dan pencapaianekonomi global, justru semakin banyak manusia yang merasa kehilangan arah hidup, terasing, dan kelelahan secara eksistensial.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di negara-negara Barat, tetapi juga merata di kawasan Asia, termasuk Indonesia.
Baca juga: BREAKINGNEWS: Warga Masing Duduki dan Boikot Kantor Perusahaan Sawit PT Sawindo Cemerlang
Data terbaru dari berbagai negara memperlihatkan tren yang mengkhawatirkan.
Di Hong Kong, angka bunuh diri remaja meningkat tajam dalam tiga tahun terakhir (SCMP, 2025).
Di Asia Timur, generasi muda mulai menolak budaya “rat race”, yaitu perlombaan kerja tanpa akhir demi status sosial dan materi, karena merasa hidup mereka kehilangan makna (SCMP, 2025).
Di Indonesia, gejala yang sama terlihat dari meningkatnya kasus gangguan mental.
Pemerintah bahkan memperkuat layanan psikologis di puskesmas, seperti yang dilakukan di Kota Palu, untuk menanggulangi lonjakan kebutuhan konseling masyarakat (Antara Sulteng, 2025).
Baca juga: 10 Tokoh Dapat Gelar Pahlawan Nasional Hari Ini, Termasuk Soeharto
Kompaspedia juga mencatat bahwa tekanan ekonomi global, disrupsi teknologi, perang, serta ketidakpastian masa depan menjadi faktor pemicu meningkatnya stres kolektif dan krisis identitas generasi muda.
Namun, di balik semua upaya terapi, konseling, dan kampanye kesehatan mental, kita jarang bertanya, mengapa manusia modern, dengan segala kemajuan dan kebebasannya, justru semakin menderita secara batin? Di sinilah pentingnya mengurai akar persoalan.
Krisis kesehatan mental sejatinya bukan hanya masalah psikologis individu, tetapi krisis ideologis
sistemik akibat cara pandang hidup kapitalis-sekuler yang rusak.
Akar Krisis: Pandangan Hidup Kapitalis yang Menyimpang
Dalam sistem kapitalis-sekuler, ukuran keberhasilan hidup ditentukan oleh materi, status sosial, dan pencapaian duniawi.
Baca juga: Harga iPhone Terbaru November : iPhone 13, iPhone 14, iPhone 15, iPhone 16, iPhone 17
Sejak kecil, generasi muda dijejali dengan narasi bahwa mereka harus “berlari” secepat mungkin untuk mencapai kesuksesan versi pasar, yaitu mendapatkan nilai tinggi, pekerjaan bergengsi, gaji besar, rumah mewah, dan gaya hidup “berkelas”.
Sayangnya, perlombaan itu justru melahirkan kelelahan mental yang luar biasa.
Banyak anak muda akhirnya terjebak dalam rat race, berlari tanpa tujuan hakiki.
Mereka hidup bukan untuk menjadi manusia yang utuh, tetapi sekadar memenuhi ekspektasi sosial yang dibangun oleh sistem kapitalisme. Ketika gagal memenuhi standar itu, rasa tidak berguna, iri sosial, bahkan depresi mulai muncul.
Lebih jauh, kapitalisme dan sekularisme telah memisahkan manusia dari makna spiritual kehidupannya.
Hidup dipandang semata urusan duniawi, sementara akhirat dianggap mitos atau urusan pribadi. Akibatnya, ketika seseorang mengalami tekanan hidup, ia tidak memiliki sandaran ruhani dan sosial yang kokoh.
Kehidupan media sosial memperparah keadaan. Platform digital kini menjadi ruang pelarian dari realitas.
Baca juga: Peringatan Hari Pahlawan di Morowali, Wabup Imbau Generasi Muda Lanjutkan Semangat Juang
Anak muda berlomba menunjukkan citra sempurna lewat unggahan glamor, “flexing” harta, atau pencapaian semu.
Semua itu menciptakan tekanan sosial terselubung, yaitu manusia dinilai dari apa yang tampak, bukan dari siapa dirinya yang sejati.
Layanan konseling dan terapi psikologis yang banyak dikampanyekan hari ini memang penting, namun sesungguhnya hanya menyentuh gejala, bukan akar masalah.
Terapi individu tidak akan mampu menyembuhkan luka batin yang dihasilkan oleh sistem ekonomi-politik yang menindas.
Bagaimana mungkin seseorang bisa tenang, jika setiap hari ia dipaksa hidup dalam ketimpangan, tekanan ekonomi, dan budaya konsumtif tanpa henti? Kapitalisme menciptakan jurang kaya-miskin yang lebar, membuat banyak orang kehilangan rasa aman dan kendali atas hidupnya.
Sekularisme menambah beban itu dengan mencabut nilai spiritual dari ruang publik, menjadikan manusia terasing dari fitrah penciptaannya.
Hasilnya adalah manusia modern yang tampak “bebas”, namun sesungguhnya terbelenggu oleh kekosongan makna.
Kegagalan Solusi Kapitalistik terhadap Krisis Mental
Sistem kapitalis mencoba meredakan krisis mental dengan pendekatan individualistik dan komersial, yakni layanan psikoterapi berbayar, aplikasi meditasi premium, atau kampanye “self-love” yang berorientasi konsumsi.
Semua diarahkan agar manusia tetap bisa “berfungsi” dalam roda ekonomi, bukan agar mereka menemukan ketenangan sejati.
Pendekatan ini gagal karena tidak menyentuh akar krisis, yakni pandangan hidup sekuler yang menghapus hubungan manusia dengan Penciptanya.
Dalam paradigma ini, makna hidup ditentukan oleh diri sendiri, bukan oleh wahyu. Akibatnya, ketika seseorang kehilangan pegangan, ia tidak tahu kepada siapa harus bersandar.
Mereka mencari makna dalam hal-hal fana, dalam pekerjaan, hubungan, maupun popularitas.
Namun semua itu sementara. Begitu kehilangan salah satunya, jiwa pun runtuh.
Inilah sebabnya, sekalipun ekonomi tumbuh dan teknologi maju, tingkat depresi dan bunuh diri tetap meningkat di banyak negara kapitalis.
Paradigma Islam
Berbeda dengan kapitalisme, Islam menawarkan solusi yang menyentuh akar persoalan.
Islam tidak hanya memberi terapi individual, tetapi membangun tatanan sosial yang menyehatkan jiwa dan menenangkan hati manusia.
Pertama, Islam menetapkan tujuan hidup yang jelas.
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”
(QS. Adz-Dzariyat: 56)
Dengan orientasi ini, manusia menilai keberhasilan bukan dari banyaknya harta, jabatan, atau pujian manusia, melainkan dari sejauh mana ia taat kepada Allah dan memperoleh ridha-Nya.
Kesuksesan sejati dalam Islam bukan diukur dari “memiliki”, melainkan dari “menjadi, yakni menjadi hamba yang taat, sabar, dan bermanfaat.
Kedua, Islam menata sistem sosial dan ekonomi agar manusia tidak hidup dalam tekanan yang destruktif.
Negara dalam sistem Islam berkewajiban menjamin kebutuhan dasar setiap rakyat, pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dalam sistem ini, tidak ada ketimpangan ekstrem seperti dalam kapitalisme.
Negara mengelola sumber daya alam untuk kepentingan umum, bukan korporasi.
Lapangan kerja disediakan sesuai kemampuan rakyat, bukan dikendalikan oleh pasar global.
Dengan terpenuhinya kebutuhan dasar dan keadilan distribusi ekonomi, tekanan hidup masyarakat dapat ditekan, dan stres kolektif pun berkurang.
Ketiga, Islam membangun ikatan sosial yang kuat.
Masyarakat Islam bukan kumpulan individu yang hidup sendiri-sendiri, tetapi satu tubuh yang saling menanggung beban.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kasih sayang dan belas kasih di antara mereka adalah seperti satu tubuh; bila satu anggota tubuh sakit, seluruh tubuh ikut merasakan sakitnya.” (HR. Muslim)
Dengan adanya solidaritas ini, seseorang tidak dibiarkan menghadapi masalah sendirian.
Ia memiliki keluarga, tetangga, dan masyarakat yang menjadi penopang spiritual dan sosial.
Keempat, Islam menumbuhkan kesehatan mental melalui ibadah dan dzikir.
Ketenangan hati bukan dicapai dengan melupakan masalah, tetapi dengan mendekat kepada Allah.
Allah berfirman: “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Salat, zikir, tilawah, dan doa adalah terapi ruhani yang menyembuhkan.
Ibadah bukan beban, melainkan cara mengembalikan keseimbangan antara akal, hati, dan jasad.
Seseorang yangrutin berinteraksi dengan Al-Qur’an dan menjaga salatnya akan memiliki keteguhan menghadapi tekanan hidup, karena ia tahu semua yang terjadi adalah bagian dari qadha dan qadar Allah yang penuh hikmah.
Penutup
Krisis kesehatan mental yang merebak hari ini bukan sekadar persoalan medis atau sosial.
Ia adalah buah pahit dari sistem kapitalis-sekuler yang memisahkan manusia dari fitrahnya, menilai hidup hanya dari materi, dan mengikis makna spiritual.
Selama manusia masih menuhankan pasar, kompetisi, dan kebebasan tanpa batas, selama itu pula krisis batin akan terus menghantui peradaban.
Islam menawarkan jalan keluar yang tidak hanya menyembuhkan gejala, tetapi menata ulang seluruh struktur kehidupan berdasarkan wahyu.
Dalam Islam, kesejahteraan tidak diukur dari PDB, melainkan dari ketenangan, keadilan, dan keberkahan hidup.
Hanya ketika manusia kembali menjadikan Allah sebagai pusat hidupnya, dan sistem Islam (Khilafah) ditegakkan untuk mengatur urusan masyarakat dengan hukum-Nya, barulah krisis mental global ini akan menemukan solusi sejati.
Sebab ketenangan hakiki bukan lahir dari dunia yang serba cepat, tetapi dari hati yang terpaut pada Sang Pencipta. Wallahu a’lam bish-shawab.(*)
| Tutup TPL Sebagai Panggilan Iman dan Gerakan Kepemudaan untuk Keadilan Sosial dan Lingkungan |
|
|---|
| Pemutihan dan Penyelamatan Pendidikan |
|
|---|
| OPINI: Dosen Swasta Masih Jadi Kelas Dua dalam Pendidikan Tinggi Indonesia? |
|
|---|
| Darurat KDRT dan Kekerasan Remaja, Cermin Retaknya Sistem Kehidupan Sekular |
|
|---|
| Kesaktian Pancasila: Menyatukan Bangsa Lawan Darurat Hipertensi dan Diabetes |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/palu/foto/bank/originals/Tulisan-Opini-tentang-Generasi-Kini-yang-Mudah-Patah.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.