Pilpres 2024

Soal Presiden Boleh Kampanye dan Memihak, PP Muhammadiyah Minta Jokowi Jadi Teladan Terkait Etika

Muhammadiyah menekankan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mencabut pernyataan yang memungkinkan menteri hingga presiden untuk berkampanye.

BIRO PERS/BIRO PERS
Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi). 

TRIBUNPALU.COM - Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menekankan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mencabut pernyataan yang memungkinkan menteri hingga presiden untuk berkampanye dan menunjukkan dukungan pada Pemilu 2024.

Hal ini dikarenakan, pernyataan tersebut dianggap mengarah pada ketidaknetralan kepresidenan.

Poin tersebut dijelaskan oleh Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) PP Muhammadiyah, Trisno Raharjo.

Seruan ini dikeluarkan menjawab kontroversi menteri dan presiden boleh memihak dan berkampanye, asalkan tidak menggunakan fasilitas negara, dengan mengacu Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum atau biasa dikenal dengan UU Pemilu, Pasal 281 dan 299.

“Pernyataan Presiden Jokowi itu tidak bisa hanya dilihat dari kacamata normatif semata, tapi juga dengan optik yang lebih luas, yakni dari sudut pandang filosofis, etis dan teknis,” tegasnya sebagaimana dikutip pada Minggu (28/1/2024).

Dari sudut pandang normatif adalah benar bahwa Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden hak melaksanakan kampanye.

“Tetapi pasal tersebut tidak dapat dipandang sebagai sebuah norma yang terpisah dan tercerabut dari akar prinsip dan asas penyelenggaraan pemilu yang di dalamnya terdapat aktivitas kampanye,” ujarnya.

Dijelaskan Trisno, pelaksanaan kampanye harus dipandang bukan hanya sekadar ajang memperkenalkan peserta kontestasi politik, melainkan juga harus dipandang sebagai bagian dari pendidikan politik kepada masyarakat sesuai Pasal 267 ayat (1) UU Pemilu.

Bagaimana mungkin pendidikan politik masyarakat akan tercapai kata Trisno, jika presiden dan wakil presiden yang aktif menjabat kemudian mempromosikan salah satu kontestan, dengan sangat mungkin menegasi kontestan lainnya.

“Pernyataan Jokowi bahwa presiden dibenarkan secara hukum untuk berkampanye dan berpihak merupakan statemen yang berlindung dari teks norma yang dilepaskan dari esensi kampanye dan pemilu itu sendiri,” papar Trisno.

Trisno menambahkan, dari sudut pandang filosofi, presiden sebagai kepala negara adalah pemimpin seluruh rakyat, yang mana pada dirinya ada tanggungjawab moral dalam segala aspek kehidupan bernegara, termasuk pemilu.

Atas dasar sudut pandang tersebut, maka presiden lanjut Trisno berkewajiban memastikan penyelenggaran pemilu berintegritas untuk memastikan penggantinya adalah sosok yang berintegritas.

“Sebuah jabatan publik terikat dengan prinsip dasar yang harus dipatuhi, pejabat publik disumpah untuk menjabat sepenuh waktu, sehingga seharusnya, memang tidak ada aktivitas lain selain yang melekat pada jabatannya,” tegasnya lagi.

Dari sudut pandang etis dan teknis, sambung dia, sumpah jabatan penyelenggaraan negara, termasuk presiden adalah setia kepada Pancasila dan UUD 1945. Kesetiaan itu, harus diwujudkan dalam segala kegiatannya, meskipun presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, saat dirinya menjabat menjadi presiden.

“Artinya Jokowi sebagai presiden wajib tunduk pada rakyat, bukan pada partai politik pengusung. Di luar itu Jokowi akan selalu dipersonifikasi sebagai presiden dalam aktivitas apapun,” tegasnya.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved