OPINI

OPINI: Dosen Swasta Masih Jadi Kelas Dua dalam Pendidikan Tinggi Indonesia?

Realitas sosial-birokratis menunjukkan ketimpangan yang kian melebar antara dosen Aparatur Sipil Negara (ASN) dan dosen swasta.

|
Editor: Fadhila Amalia
Handover
Peneliti CITA, Ruben Cornelius Siagian. 

12 Teori keadilan distributif Rawlsian menegaskan bahwa ketimpangan hanya dapat diterima jika memberi keuntungan bagi pihak yang paling kurang beruntung. 3 Namun, sistem pendidikan tinggi 1 Mijs, “The unfulfillable promise of meritocracy: Three lessons and their implications for justice in education.” 2 Mishchuk dkk., “Measuring social justice in the light of effectiveness of public distributive policy.”

Indonesia justru menunjukkan kebalikannya, bahwa dosen swasta yang posisinya paling rentan tidak mendapatkan afirmasi kebijakan apapun. Penelitian Wirosuharjo, K. (2015) dan Irawan, D. E., Purnomo, A., Sutiksno, D. U., Abraham, J., Alamsyah, A., Saputra, D. H., & Rosyidah, E. (2018) menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan dosen PTS di Indonesia jauh sedikit dari total pendapatan dosen ASN, meskipun jam
mengajar mereka lebih panjang dan publikasi ilmiah relatif sebanding.

Analisis Regulatif Permen No. 23 Tahun 2025

Rancangan Permenristekdikti No. 23 Tahun 2025 berfokus pada pemberian tunjangan kinerja bagi ASN di lingkungan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi.

Baca juga: Sekretaris Fraksi PKB DPRD Sulteng Kritik Kehadiran Aparat di Lokasi Sengketa Lahan PT KLS

Namun, dalam implementasi substansial, regulasi ini meneguhkan segregasi struktural antara ASN dan non-ASN.

Pasal 7 ayat (2) menyebutkan bahwa capaian kinerja dosen swasta tetap dilaporkan ke LLDIKTI, yang berada di bawah kementerian. Artinya, negara tetap menuntut akuntabilitas dan kinerja dari dosen swasta, tetapi tidak memberikan hak dan insentif setara.

“Ini adalah bentuk kontradiksi regulatif,” ujar Kevin William Andri Siahaan, ASN dan peneliti
BRIDA Kota Medan. “Negara menuntut laporan kinerja dari dosen swasta, tapi tidak menanggung
kesejahteraan mereka. Dalam teori kebijakan publik, ini disebut sebagai asymmetric accountability, yaitu
tanggung jawab tinggi tanpa dukungan struktural.”

Baca juga: Warga Palu Harap Bersiap, PLN Umumkan Jadwal Pemadaman Listrik Jumat 7 November 2025

Studi Kasus

Di Universitas PGRI Sumatera Barat, dosen swasta dengan masa kerja lebih dari 10 tahun hanya menerima gaji pokok sekitar Rp 3–4 juta per bulan tanpa tunjangan penelitian.

Mereka tetap diwajibkan menulis publikasi ilmiah dan mengisi Sister Dikti sebagaimana ASN.

“Kami dosen swasta bekerja dengan beban yang sama, tapi penghargaan yang kami terima jauh lebih
rendah,” ujar salah satu dosen yang diwawancarai.

Dosen di beberapa kampus swasta juga mengaku mengajar di dua kampus berbeda agar penghasilan
cukup.

Kondisi ini menyebabkan berkurangnya fokus pada penelitian dan pengabdian masyarakat. 

Di beberapa PTS kecil di Riau, dosen bahkan menanggung biaya publikasi dan seminar dari dana pribadi.

Ketika kebijakan hibah penelitian dari Kemendikbud-Dikti hanya menyasar PTN dan PTNBH, kesempatan dosen PTS untuk berkembang menjadi sangat terbatas.

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved