OPINI
Mengapa Generasi Kini Mudah Patah?
Fenomena ini tidak hanya terjadi di negara-negara Barat, tetapi juga merata di kawasan Asia, termasuk Indonesia.
Sejak kecil, generasi muda dijejali dengan narasi bahwa mereka harus “berlari” secepat mungkin untuk mencapai kesuksesan versi pasar, yaitu mendapatkan nilai tinggi, pekerjaan bergengsi, gaji besar, rumah mewah, dan gaya hidup “berkelas”.
Sayangnya, perlombaan itu justru melahirkan kelelahan mental yang luar biasa.
Banyak anak muda akhirnya terjebak dalam rat race, berlari tanpa tujuan hakiki.
Mereka hidup bukan untuk menjadi manusia yang utuh, tetapi sekadar memenuhi ekspektasi sosial yang dibangun oleh sistem kapitalisme. Ketika gagal memenuhi standar itu, rasa tidak berguna, iri sosial, bahkan depresi mulai muncul.
Lebih jauh, kapitalisme dan sekularisme telah memisahkan manusia dari makna spiritual kehidupannya.
Hidup dipandang semata urusan duniawi, sementara akhirat dianggap mitos atau urusan pribadi. Akibatnya, ketika seseorang mengalami tekanan hidup, ia tidak memiliki sandaran ruhani dan sosial yang kokoh.
Kehidupan media sosial memperparah keadaan. Platform digital kini menjadi ruang pelarian dari realitas.
Baca juga: Peringatan Hari Pahlawan di Morowali, Wabup Imbau Generasi Muda Lanjutkan Semangat Juang
Anak muda berlomba menunjukkan citra sempurna lewat unggahan glamor, “flexing” harta, atau pencapaian semu.
Semua itu menciptakan tekanan sosial terselubung, yaitu manusia dinilai dari apa yang tampak, bukan dari siapa dirinya yang sejati.
Layanan konseling dan terapi psikologis yang banyak dikampanyekan hari ini memang penting, namun sesungguhnya hanya menyentuh gejala, bukan akar masalah.
Terapi individu tidak akan mampu menyembuhkan luka batin yang dihasilkan oleh sistem ekonomi-politik yang menindas.
Bagaimana mungkin seseorang bisa tenang, jika setiap hari ia dipaksa hidup dalam ketimpangan, tekanan ekonomi, dan budaya konsumtif tanpa henti? Kapitalisme menciptakan jurang kaya-miskin yang lebar, membuat banyak orang kehilangan rasa aman dan kendali atas hidupnya.
Sekularisme menambah beban itu dengan mencabut nilai spiritual dari ruang publik, menjadikan manusia terasing dari fitrah penciptaannya.
Hasilnya adalah manusia modern yang tampak “bebas”, namun sesungguhnya terbelenggu oleh kekosongan makna.
Kegagalan Solusi Kapitalistik terhadap Krisis Mental
| Tutup TPL Sebagai Panggilan Iman dan Gerakan Kepemudaan untuk Keadilan Sosial dan Lingkungan |
|
|---|
| Pemutihan dan Penyelamatan Pendidikan |
|
|---|
| OPINI: Dosen Swasta Masih Jadi Kelas Dua dalam Pendidikan Tinggi Indonesia? |
|
|---|
| Darurat KDRT dan Kekerasan Remaja, Cermin Retaknya Sistem Kehidupan Sekular |
|
|---|
| Kesaktian Pancasila: Menyatukan Bangsa Lawan Darurat Hipertensi dan Diabetes |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/palu/foto/bank/originals/Tulisan-Opini-tentang-Generasi-Kini-yang-Mudah-Patah.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.