Dugaan Kasus Kekerasan Santri di Parimo

Pimpinan Pesantren di Parimo Bantah Santri AWS Meninggal Akibat Kekerasan: Kami Siap Kooperatif

Ahmad menilai, informasi yang beredar di media sosial masih perlu diluruskan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman di tengah masyarakat.

Penulis: Abdul Humul Faaiz | Editor: Fadhila Amalia
Pixabay.com
ILUSTRASI KEKERASAN - Pimpinan Pondok Pesantren di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, Ahmad Wargono, membantah keras dugaan bahwa santri berinisial AWS (14) meninggal akibat bullying dan kekerasan di lingkungan pesantren.kerasan 

Laporan Wartawan TribunPalu.com, Abdul Humul Faaiz

TRIBUNPALU.COM, PARIGI MOUTONG – Pimpinan Pondok Pesantren di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, Ahmad Wargono, membantah keras dugaan bahwa santri berinisial AWS (14) meninggal akibat bullying dan kekerasan di lingkungan pesantren.

Menurutnya, pihak pesantren telah memeriksa seluruh santri yang diduga terlibat dan meminta mereka menandatangani pernyataan tidak melakukan kekerasan.

Baca juga: Deputi Kemenkop UKM Hadiri Workshop Strategi UMKM Sulteng Menuju Pasar Global

“Kami sudah klarifikasi, dan para santri menyatakan tidak melakukan kekerasan di hadapan Kasat Intel,” ujar Ahmad Wargono, Kamis (16/10/2025).

Ahmad menyebut, Kapolsek Lambunu juga telah mengambil rekaman CCTV pesantren atas perintah Polda Sulawesi Tengah untuk kepentingan penyelidikan lebih lanjut.

Ia menjelaskan, korban sempat meminta izin berobat pada 8 Oktober 2025 sekitar pukul 06.56 WITA, dan saat dijemput keluarganya masih tampak sehat.

“Anak itu masih bisa berlari dan naik tangga waktu izin berobat,” kata Ahmad.

Baca juga: Tawuran Geng Motor di Palu Berujung Penangkapan, Polisi Temukan Celurit hingga Katapel

Ahmad menuturkan, setelah izin berobat itu, pihak keluarga menyampaikan bahwa AWS sedang dirawat karena malaria dan demam berdarah dengue (DBD).

Menurutnya, pihak pesantren juga menerima informasi bahwa korban dikeluarkan dari puskesmas oleh ayahnya, padahal dokter belum memberi izin pulang karena masih lemah.

“Kami juga dengar, dokter belum izinkan keluar, tapi keluarganya tetap bawa pulang anak itu,” ujarnya.

Setelah itu, Ahmad menerima kabar bahwa AWS dirujuk ke RSUD Raja Tombolotutu Tinombo karena kondisinya kembali memburuk.

Baca juga: Bawaslu Sulteng Matangkan Pendidikan Pengawasan Partisipatif Daring untuk Pemilu 2029

“Kami baru tahu korban dirujuk ke rumah sakit dan meninggal dunia beberapa jam kemudian. Itu runutan kejadiannya,” jelasnya.

Ahmad menegaskan, pihaknya siap menghadapi proses hukum dan mendukung penyelidikan agar penyebab meninggalnya AWS dapat diungkap secara terang dan objektif.

“Saya orang pertama yang tidak terima jika benar anak santri kami meninggal karena kekerasan,” tegasnya.

Ia menjelaskan, selama 9–12 Oktober 2025, korban berada di luar pengawasan pesantren karena izin berobat bersama keluarganya di rumah.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved