Kanwil Kemenkum Sulteng

Sengketa Tanah 40 Tahun di Desa Wakai Berakhir Damai Berkat Mediasi Posbankum

Kesepakatan damai ini tercapai di Kantor Desa Wakai, Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah.

Editor: Regina Goldie
HANDOVER
Sebuah sengketa tanah yang telah berlangsung lebih dari empat dekade antara dua keluarga di Desa Wakai, Kabupaten Sulawesi Tengah, akhirnya berhasil diselesaikan secara damai.  

TRIBUNPALU.COM - Sebuah sengketa tanah yang telah berlangsung lebih dari empat dekade antara dua keluarga di Desa Wakai, Kabupaten Sulawesi Tengah, akhirnya berhasil diselesaikan secara damai. 

Penyelesaian ini tercapai melalui mediasi yang difasilitasi oleh Pos Bantuan Hukum (Posbankum) Desa Wakai, bekerja sama dengan pemerintah desa dan para paralegal yang dibina oleh Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sulawesi Tengah (Kanwil Kemenkum Sulteng).

Kesepakatan damai ini tercapai di Kantor Desa Wakai, Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah.

Penyelesaian sengketa ini menunjukkan keberhasilan nyata dari layanan Posbankum di tingkat desa, yang telah didorong oleh Kemenkum Sulteng sebagai garda terdepan untuk memastikan akses keadilan bagi masyarakat pedesaan.

Baca juga: Rakernas IOF di Palu, Kombes Pribadi Sembiring Resmi Dilantik Jadi Ketua Pengda Sulteng

Awal Sengketa dan Upaya Penyelesaian

Sengketa ini bermula pada saat Y.S., perwakilan ahli waris keluarga A., melaporkan permasalahan tanah tersebut ke pemerintah desa.

Sebelumnya, kasus ini sempat ditangani oleh aparat kepolisian, namun laporan tersebut dikembalikan karena tidak memenuhi unsur pidana.

Pemerintah desa, bersama para paralegal desa, seperti Ridwan S. Matoro, Mukrin, Saparang, dan Moh. Akbar, melakukan penelusuran langsung ke lokasi dan menemui A.K., ahli waris keluarga K.

Dari hasil penyelidikan, diketahui bahwa keluarga K. telah menempati tanah tersebut sejak tahun 1984.

Baca juga: Irwan Lapatta Tekankan Pembinaan Karate Saat Buka Gashuku dan Ujian DAN Zona V di Palu

Sengketa muncul karena adanya sertifikat prona tahun 1985 atas nama keluarga A diduga dikeluarkan setelah tanah tersebut dijual oleh mantan kepala desa almarhum M.L. kepada almarhum A., meskipun tanah itu sudah dikuasai oleh keluarga K.

Pada 1990-an, sengketa ini sempat diselesaikan secara adat dengan kesepakatan kompensasi sebesar Rp150.000, yang diperkuat oleh surat keterangan dari kepala desa pada tahun 1990 dan keterangan pegawai pertanahan pada tahun 2009.

Namun, sertifikat prona yang dimiliki keluarga A kemudian menjadi bukti yang bertentangan dengan kesepakatan tersebut.

Baca juga: Inkai Sulteng Apresiasi Gashuku dan UKT Zona V di Palu, Dewan Guru Turun Beri Evaluasi Teknik

Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved